Struktur Sosial

a. Definisi Struktur Sosial

Secara harfiah, struktur bisa diartikan sebagai susunan atau bentuk. Struktur tidak harus dalam bentuk fisik, ada pula struktur yang berkaitan dengan sosial. Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Susunannya bisa vertikal atau horizontal. Mengenai istilah struktur sosial di kalangan ahli di Indonesia memang belum ada kesepakatan untuk menentukan secara pasti tentang definisinya. Sebagian para ahli menganggap struktur sosial identik dengan penggambaran tentang suatu lembaga sosial, sebagian lain menggambarkan struktur sosial sebagai   istilah pranata sosial, bangunan sosial dan lembaga kemasyarakatan.

Dalam antropologi sosial, konsep struktur sosial sering di anggap sama dengan organisasi sosial, terutama apabila dihubungkan dengan masalah kekerabatan dan kelembagaan atau hukum pada masyarakat yang tergolong bersahaja. Menurut Firth (Soerjono Soekanto:1983), bahwa organisasi sosial berkaitan dengan pilihan dan keputusan dalam hubungan-hubungan sosial aktual. Struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang lebih fundamental yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat, yang memberikan batas-batas pada aksi-aksi yang mungkin di lakukan secara organisatoris. Sedangkan E.R Leach menetapkan konsep tersebut pada cita-cita tentang distribusi kekuasan diantara orang-orang dan kelompok-kelompok.[1]

Dari pendapat tersebut dapat di artikan bahwa struktur sosial mencakup berbagai hubungan sosial antara individu-individu secara teratur pada waktu tertentu yang merupakan keadaan statis dari suatu sistem sosial. Jadi struktur sosial tidak hanya mengandung unsur kebudayaan belaka, melainkan skaligus mencakup seluruh prisip-prinsip hubungan-hubungan sosial yang bersifat tetap dan stabil.

Dalam sosiologi, struktur sosial sering di gunakan untuk menjelaskan tentang keteraturan sosial, yang menunjuk pada prinsip perilaku yang berulang ulang dengan bentuk dan cara yang sama. Secara sosiometris kadang-kadang dapat diartikan sebagai konsep psikologis hubungan-hubungan sejumlah anggota dalam krlompok kecil. Menurut Soerjono Soekamto (1983), bahwa struktur sosial dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan antara peranan-peranan Interaksi dalam sistem sosial di kosepkan secara terperinci dengan menjabarkan tentang manusia yang menempati posisi-posisi dan melaksanakan peranannya (dalam sosiologi disebut sebagai pendekatan struktural-fungsional). Sedangkan Parso memandang struktur sosial sebagai aspek yang relatif lebih statis dari pada aspek fungsional dalam sistem sosial.

Dengan demikian, pengertian maka secara singkat struktur sosial dapat didefinisikan sebagai tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan perilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat.[2]

b. Ciri-Ciri Struktur Sosial

Untuk lebih jelasnya di bawah ini di jelaskan beberapa ciri umum dari struktur sosial :

1)      Struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang pokok yang dapat memberikan bentuk dasar pada masyarakat memberikan batas-batas pada aksi-aksi yang kemungkinan besar di lakukan secara organisatoris. Konsep struktur sosial di terapkan pada totalitas, seperti pada lembaga, kelompok dan proses sosial. Struktur sosial di satu pihak dapat berupa hubungan-hubungan sosial antar anggota kelompok masyarakat, di pihak lain srtuktur sosial merupakan ketetapan dari pada cita-cita tentang kekuasaan di antara anggota-anggota masyarakat tertentu.

2)      Struktur sosial mencakup semua hubungan sosial antara individi-individu pada saat tertentu. Oleh karena itu maka struktur sosial dapat di sebut sebagai aspek non proses dari sistem sosial, yang pada intinya adalah situasi statis dari sistem sosial. Struktur sosial merupakan kerangka acuan yang utama dalam setiap studi tentang keteraturan hubungan-hubungan masyarakat.

3)      Struktur sosial merupakan seluruh kebudayaan masyarakat yang dapat di lihat dari sudut pandang yang teoritis. Artinya dalam meneliti, setiap meneliti tentang kebudayaan sebaiknya di arahkan pada pemikiran terhadap berbagai derajat dari susunan sosialnya. Dengan demikian struktur sosial dapat di pandang sebagai suatu kenyataan empiris yang ada pada setiap saat terjadi hubungan sosial antar manusia. Struktur sosial merupakan abstraksi dari kenyataan yang menyangkut kurun waktu tertentu yang pada prinsipnya tidak terlepas pada perilaku, perasan dan kepercayaan, di samping menyangkut kehidupan yang aktual.

4)      Struktur sosial merupakan realitas sosial yang bersifat statia atau kenyataan yang membeku sehingga dapat di lihat kerangka tatanan dari berbagai bagian tubuhnya yang berbentuk struktur. Jadi, struktur sosial adalah aspek statia dari suatu proses atau fungsionalisasi dari sistem sosial.

5)      Struktur sosial merupakan tahapan perubahan dan perkembangan masyarakat yang mengandung dua pengertian, yang pertama, di dalam struktur sosial terdapat peranan yang bersifat empiris dalam proses perubahan dan perkembangan. Kedua, dalam setiap perubahan dan perkembangan tersebut terdapat tahap perhentian stabilitas keteraturan dan integrasi sosial yang berkesinambungan sebelum kemudian terancam proses ketidakpuasan dalam tubuh masyarakat. Pada ciri kelima ini dalam sosiologi sering di gunakan untuk melukiskan keteraturan sosial atau keteraturan elemen-elemen dalam kehidupan masyarakat.

Dari ciri-ciri diatas dapat di simpulkan bahwa struktur sosial adalah suatu tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang merupakan jaringan dari pada unsur-unsur sosial yang pokok.

Menurut Soerjono Soekanto, unsur-unsur sosial yang pokok adalah sebagai berikut:

a)      Kelompok sosial

b)      Kebudayaan

c)      Lembaga sosial

d)     Stratifikasi sosial

e)      Kekuasaan dan wewenang.[3]

c. Fungsi Struktur Sosial dalam Kehidupan Masyarakat

Dalam buku sosiologi kelompok dan masalah sosial, di jelaskan bahwa dalam struktur sosial banyak dijumpai berbagai aspek sosial. Dengan struktur sosial, maka secara psikologis anggota masyarakat merasa ada batas-batas tertentu dalam setiap melakukan aktivitasnya, individu dengan setianya menyesuaikan diri dengan ketertiban atau keteraturaan masyarakat yang ada. Dalam keadaan demikian, norma-norma dan nilia-nilai dalam kemasyarakatan paling tidak berfungsi sebagai pembatas dalam berperilaku agar tidak melanggar norma-norma yang ada. Menurut mayor Polak (1979), berfungsi sebagai pengawasan sosial yaitu sebagai penekan-penekan kemungkinan pelanggaran terhadap norma-norma, nilai-nilai, peraturan-peraturan tadi. Sehingga disiplin dalam kelompok cenderung dapat di pertahankan. Tujuan untuk mendisiplinkan kelompok pada dasarnya di dorong oleh suatu keinginan dan semangat persatuan diantara anggota kelompok, kesadaran menerima hukuman dan norma-norma yang berlaku, dan tunduk pada kepentingan dan kesejahteraan kelompok secara keseluruhan.

Menurut pendapat Emile Durkheim bahawa keteraturan itu di sebabkan beberapa faktor pengikatnya yang di tingkatkan menjadi moralitas masyarakat itu adalah antara lain:

1)      Kontrol sosial

2)      Stabilitas keluarga yang besar

3)      Sifat heteroginitas lebih kecil dari pada sifat kolekti vitas

Struktur sosial dapat berfungsi sebagai dasar untuk menanamkan disiplin sosial karena aturan disiplinnya berasal dari dalam kelompok sendiri, maka perlakuan pengwasan kelompok sendiri cenderung lebih mudah untuk dapat diterima sebagai kepentingan diri sendiri. Dengan berlakunya proses tersebut maka setiap anggota kelompok akan mendapat pengetahuan dan kesadaran terutama perihal sikap, adat kebiasaan,dan kepercayaaan group feelingnya. Dengan demikian anggota kelompok dapat mengetahui bagaimana cara bersikap dan bertindak sesuai dengan ketentuan dan harapan sehingga kemungkinan perbedaan paham sedikit dapat di kurangi.[4]

Dalam teori sebernetik tentang Generl System of action ( Ankei M.M. Hoogvelt 1985 ), di jelaskan bahwa masyarakat akan dapat di analisis dari sudut syarat-syarat fungsionalnya:

a)      Fungsi mempertahankan pola ( pattern maintanance ). Fungsi ini berkaitan hubungaan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem kebudayaan. Hal ini berarti mempertahankan prinsip-prinsip tertinggi dari masyarakat oleh karena itu di orientasikan realitas yang terkhir.

b)      Fungsi integrasi. Hal ini mencakup jaminan terhadap koordinasi yang di perlukan antara unit-unit dari suatu sistem sosial khususnya yang berkaitan dengan kontribusinya pada organisasi dan berperananya keseluruhan sistem.

c)      Fungsi pencapaian tujuan ( goal attainment ). Hal ini menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem aksi keperibadian. Fungsi ini menyangkut penentuan tujuan-tujuan yang sangat penting bagi masyarakat, mobilisasi, warga masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut.

d)     Fungsi adaptasi yang menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem organisme prilaku dan dengan dunia fisiko organik. Hal ini secara umum menyangkut penyesuaian masyarakat terhadap kondisi-kondisi dari lingkungan hidupnya.[5]

d. Bentuk Struktur Sosial

Bentuk struktur sosial terdiri dari stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial. Masing-masing punya ciri tersendiri.

1) Stratifikasi Sosial

Stratifikasi berasal dari kata strata atau tingkatan. Stratifikasi sosial adalah struktur dalam masyarakat yang membagi masyarakat ke dalam tingkatan-tingkatan. Ukuran yang dipakai bisa kekayaan, pendidikan, keturunan, atau kekuasaan. Max Weber menyebutkan bahwa kekuasaan, hak istimewa dan prestasilah yang menjadi dasar terciptanya stratifikasi sosial.

Beberapa pengertian stratifikasi menurut para ahli, antara lain sebagai berikut:

a)      Menurut Robert M.Z. Lawang, strstifikasi sosial adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu kedalam lapisan-lapisan hierarkis menurut dimensi kekuasaan.

b)      Menurut Horton dan Hunt, stratifikasi sosial berarti sistem perbedaan status yang berlaku dalam suatu masyarakat

c)      Menurut soerjono Soekarto, dengan mengutif pendapat Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa strstifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat

d)     Menurut Bruce J. Cohen, stratifikasi sosial adalah sisitem yang menempatkan seseorang sesuai dengan kualitas yang di miliki dan menempatkan mereka pada kelas sosial yang sesuai

e)      Menurut Astrid S. Susanto, stratifikasi sosial adalah hasil kebiasaan hubungan antar manusia secara teratur dan tersusun sehingga setiap orang setiap saat mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang secara vertikal maupun horizontal dalam masyarakatnya.[6]

Bentuk stratifikasi sosial dapat di lihat dari beberapa segi, antara lain dari proses , sifat, dasar-dasar pelapisan sosial.

1.      Stratifikasi Dilihat dari Segi Proses

Ada dua bentuk stratifikasi dari segi proses,yaitu sebagai berikut.

a.    Stratifokasi yang terjadi dengan sendirinya, alasan terjadinya stratifikasi sosial adalah kepandaian, tingkat umur, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian anggota dan kerabat seorang kepala serta harta.

b.    Stratifikasiyang terjadi dengan sengaja untuk tujuan bersama. Biasanya dilakukan dalam pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi yang formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata atau perkumpulan.

2.      Stratifikasi Dilihat dari Segi Sifat

Bentuk stratifikasi sosial dilihat dari segi sifat yaitu sebagai berikut.

a.                             Stratifikasi Sosial Terbuka

Dalam sistem stratifikasi sosial yang terbuka setiap anggota masysrakat memiliki kesempatan untuk berusaha naik ketingkat lapisan yang lebih tinggi atau jika kurang beruntung akan terjatuh ke lapisan yang lebih rendah. Kelebihan dari sistem ini adalah danya rangsangan dari setiap orang untuk mengejar kemajuan. Semakin maju seorang tingkat stratifikasipun akan naik. Akan tetapi kelemahanya adalah adanya kemungkinan perasaan was-was karena khawatir tergeser kedudukanya ke lapisan bawah

b.                            Stratifikasi Sosial Tertutup

Stratifikasi yang bersifat tertutup membatasi kemungkinan berpindahnya seseorang dari lapisan satu ke lapisan yang lain baik yang bergerak keatas maupun yang kebawah. Satu-satunya jalan masuk menjadi anggotanya denagan kelahiran. Sistem yang tertutup dapat dilihat dari masyarakat India yang memakai sistem kasta, atau dalam masyarakat feodal, dalam masyarakat tempat pelapisan sosialnya bergantung pada perbedaan rasial.

Kasta di India memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1)      Keanggotaannya berdasarkan kelahiran. Anak yang lahir memiliki kedudukan yang sama dengan orang tuanya.

2)      Keanggotaannya berlaku seumur hidup, kecuali ia dikeluarkan dari kastanya

3)      Perkawinan bersifat endogami, artinya harus dipilih dari orang yang sekasta

4)      Hubungan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya bersifat terbatas

5)      Adanya kesadaran pada keanggotaan suatu kasta, misalnya nama kasta dan identifikasi anggota pada kastanya

6)      Terikat pada kedudukan-kedudukan

7)      Prestise suatu kasta benar-benar diperhatikan

Sistem stratifikasi yang tertutup juga dapat di temui di masyarakat bali. Menurut kitab sucinya, orang bali terbagi kedalam empat lapisan, yaitu:

a)                Brahmana

b)                Satria

c)                waisya

d)               sudra

Ketiga lapisan pertama disebut Triwangssa, sedangkan lapisan yang terakhir disebut Jaba yang merupakan lapisan dengan jumlah warga yang terbanyak diantara manyarakat Bali. Biasanya, orang mengetahui lapisannya berdasarkan gelar yang disandangnya yang diturunkan secara patrilineal. Untuk gelar kaum Brahmana adalah Ida Bagus, untuk kaum Waisya gelarnya adalah Tjokorda, Dewa dan Ngurah, untuk kaum Waisya adalah Bagus, I Gusti dan Gusti, sedangkan untuk kaum Sudra, seperti Pande, Kbon, Pasek dan seterusnya yang dahulu kala berhubungan erat dengan pekerjaan orang-orang yang memakai gelar yang brsangkutan.[7]

3.      Stratifikasi di lihat dari segi dasar-dasar pelapisan soaial

Dasar pembentukan startifikasi menurut Astrid S. Susanto dalah pembagian kerja, yaitu spesialisasi dan diversifikasi pekerjaan. Spesialisasi ini diartikan sebagai pengelompokan berdasarkan keahlian khusus yang dimiliki setiap individu atau pekerja. Manusia memiliki kecendrungan untuk menilai suatu pekerjaan, penilaian tersebut ditinjau dari segi peranan dari segi peranan yang dimiliki suatu pekerjaan dalam memenuhi kepentingan masyarakatnya. Alasannya, strasitifikasi terjadi dengan meluasnya masyarakat yang diikuti terjadinya pembagian pekerjaan.

Adapun menurut Soerjono Soekanto, ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan, yaitu sebagai berikut:

a.          Kekayaan, adalah orang yang memiliki kekayaan paling banyak atau yang berpenghasilan tinggi termasuk kedalam lapisan paling atas. Kekayaan tersebut dapat dilihat misalnya pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadi dan pakaianya.

b.      Orang yang memiliki kekuasaan atau memiliki kewenangan berpeluang besar menempati lapisan teratas.

c.          Kehormatan, adalah orang yang disegani dan dihormati menempati tempat teratas dan ukuran seperti ini banyak di jumpai pada masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongab tua atau mereka yang pernah berjasa besar     kepada masyarakat.

d.      Ilmu Pengetahuan, artinya orang yang berpendidikan tinggi merupakan gologan yang lebih tinggi dari pada orng yang berpendidikan rendah. Akan tetapi ukuran ini terkadang membawa pengaruh negatif karena seringkali bukan mutu ilmu pemgetahuanya yang di jadikan sebagai ukuran, melainkan gelarnya sehingga dapat mengakibatkan segala macam usaha dilakukan untuk mendapatkan gelar tersebut walaupun tidak halal.[8]

2)      Deferensiasi Sosial

Dalam kehidupan sehari-hari, anda mengetahui adanya perbedaan misalnya ada laki-laki dan perempuan. Selain itu, didalam masyarakat dan pembedaan orang berdasarkan jenis pekerjaan, suku bangsa, atau suku tertentu. Misalnya suku jawa, suku batak, suku banjar, ras negro,dan ras melanisian. Perbedaan tersebut tidak di perlihatkan bahwa laki-laki lebih tinggi dari perempuan, atau suku jawa lebih tinggi dari suku batak. Deferensiasi sosial adalah suatu proses perolehan hak dan kewajiban seseoarang dalam masyarakat yang berbeda satu sama lain atas dasar-dasar tertentu, seperi ras, etnis, agama, gender dan suku bangsa yang tidak menunjukkan adanya tingkatan lebih tinggi atau lebih rendah, perbedaan dalam diferensiasi sosial merupakan perbedaan secara horizontal.

Deferensiasi dapat berkembang menjadi stratifikasi apabila perbedaan hak dan kewajiban tersebut di gunakan sebagai ukuran untuk memperoleh hak-hak yang istimewa dalam hal, kekuasaan, kekayaan serta martabat. Akan tetapi bukan berarti bahwa semua deferensiasi mengarah kepada stratifikasi sosial, karena didalam masyarakat terdapat kekuatan-kekuatan yang mendorong penghapusan perbedaan-perbedaan atau diskriminasi diantara sesama manusia.[9]

a)                Deferensiasi Berdasarkan Ras

Manusia sebagai salah satu makluk yang tinggal di muka bumi ini terbagi-bagi ke dalam kelompok masyarakat yang tidak terhitung jumlahnya. Setiap kelompok juga mengembangkan pandangan tentang in-group dan out-group dan mengembangkan perbedaan berdasarkan perbedaan-perbedaan fisik yang turun temurun yaitu ras. Perbedaan-perbedaan tersebut nampak pada warna kulit, bentuk kepala, bentuk hidung, warna bola mata dan rambutnya. Oleh karena itu ras termasuk kategori individu yang turun temurun terdapat ciri-ciri fisik dan biologis tertentu yang khas. Beberapa pengertian ras menurut para ahli adalah sebagai berikut:

(1)   Bruce J. Cohen

Ras adalah kategori individu yang secara turun temurun memiliki ciri-ciri fisik dan boilogis tertentu yang sama.

(2)   Harton dan Hunt

Ras adalah suatu kelompok manusia yang agak berbeda dengan kelompok-kelompok lainya dalam segi ciri-ciri fisik bawaan. Disamping itu juga banyak ditemukan oleh pengertian yang digunakan oleh masyarakat.

(3) Alex Thio

Ras adalah sekolompok orang yang dianggap oleh masyarakat memiliki ciri-ciri biologis yang berbeda. Ras adalah suatu kelompok atau kategori orang-orang yang mengidentifikasiakn diri mereka sendiri dan diidentifikasikan oleh orang-orang lain, sebagai perbedaan sosial yang dilandasi oleh ciri-ciri fisik atau biologis.

Jadi dengan demikian dapat di tarik kesimpulan bahwa ras adalah kategori individu yang secara turun temurun memiliki ciri-ciri fisik dan biologis tertentu.

b)                Deferensiasi Menurut Etnis

Menurut William Kornblum kelompok etnis adalah suatu populasi yang memiliki identitas kelompok berdasarkan kebudayaan tertentu dan buasanya memiliki leluhur yang secara pasti atau pasti sama. Menurt Alex Thio kelompok etnis adalah sekelompok orang yang saling berbagi warisan kebudayaan tertentu. Dengan kata lain etnis berbeda dengan ras karena kelompok etnis digunakan untuk mengacu pada suatu kelompok atau kategori sosial yang perbedaanya terletak pada kriteria kebudayaan, buka biologis.

Dalam pandangan Bruce J, Cohen kelompok etnis di bedakan oleh karakteristik budaya yang di miliki oleh para anggotanya. Karakteristik itu meliputi agama, bahasa atau kebangsaan di wilayah indonesia.orang dapat mengategorikan individu-individu ke dalam kelompok-kelompok rasial dengan cara mengamati penampilan fisiknya. Akan tetapi kelompok suku dapat di bedakan satu sama lainya hanya melalui analisis yang cermat atas karakteristik kebudayaan mereka.

Sedangkan menurut Horton dan Hunt istilah kelompok etnis disebutkan bagi setiap bentuk kelompok yang secara sosial dianggapada dan telah mengembangkan sub-kulturnya sendiri. Dengan kata lain suatu kelompok etnis adalah kelompok yang di akui oleh masyarakat dan oleh kelompok etnis itu sendiri sebagai kelompok etnis yang tersendiri. Walaupun perbedaan kelompok dikaitkan dengan nenek moyang tertentu namun ciri-ciri pengenalanya dapat berupa bahasa, agama, wilayah kediamanya, kebangsaan, bentuk fisik, atau gabungan dari beberapa ciri tersebut.[10]

c)                Deferensiasi Berdasarkan Agama

Menurut William Kornblum agama adalah sejumlah jawaban logis tentang sebuah dilema keberadaan manusia yang membuat dunia lebih berarti. Adapun pandangan Emile Durkheim agama adalah suatu sistem kepercayaan beserta praktiknya seta berkenaan dengan hal-hal sakral yang menyatukan pengikutnya dalam suatu komunitas moral. Agama berisi tentang:

(1)   Suatu yang dianggap sakral melebihi kehidupan duniawi dan menimbulkan rasa kekaguman dan penghormatan.

(2)   Sekumpulan kepercayaan hal tentang hal yang dianggap sakral.

(3)   Penegasan kepercayaan dengan melaksanakan ritual yaitu aktivitas keagamaan.

(4)   Sekumpulan kepercayaan yang ikut dalam ritual yang sama.

d)               Deferensiasi Berdasarkan Jenis Kelamin dan Gender

Pembicaraan tentang perbedaan laki-laki dan perempuan akan mencakup perbedaan secara seks dan perbedaan gender. Menurt William Kornblum perbedaab secara seks adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis. Perbedaan tersebut adalah karakterstik seks primer seperti alat kelamin yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan karakteristik seks sekunder yang akan muncul kemudian seperti bentuk tubuh dan bentuk suara. Adapun perbedaan secara gender adalah cara berperilaku yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan yang sudah ditemukan oleh kebudayaan yang kemudian menjadi bagian dari kepribadiannya.

e)                Deferensiasi Berdasarkan Suku Bangsa

Istilah suku bangsa menurut Koentjoroningrat adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan di mana kesadaran dan identitas tadi sering dikuatkan oleh kesamaan bahasa. Kesatuan kebudayaan tersebut merupakan bukan merupakan hal yang di tentukan oleh orang luar melainkan oleh warga kebudayaan yang bersangkutan. Misalnya orang jawa memiliki kesadaran-kesadaran sendiri bukan karena penelitian etnografi bahwa di antara mereka ada keseragaman mengenai kebudayaan mereka yaitu kebudayaan jawa yang memiliki kepribadian dan identitas khusus yang berbeda dengan kebudayaan lainnya.[11]

Jadi suku bangsa adalah golongan sosial yang dibedakan dari golongan sosial yang lain karena memiliki ciri-ciri yang paling mendasar dan umum berkaitan dengan asal usul tempat asal serta kebudayaan. Ciri-ciri yang mendasar antara lain sebagai berikut:

(1)   Tipe fisik yang sama, seperti warna kulit dan rambut

(2)   Bahasa daerah yang sama

(3)   Adat istiadat yang sama

(4)   Kesenian yang sama

Suku bangsa di indonesia beranekaragam macamnya. Sebagian besar dari mereka tetap menonjolkan sifat kulturalnya di bandingkan sifat keturunanya. Adapun sifat kurtural yang di maksud adalah persamaan kebudayaan dan bahasa.

f)                 Deferensiasi Berdasarkan Klan

Klan atau clan berarti kaum, suku, atau marga. Klan adalah kelompok kekerabatan dengan cara menarik garis keturunan secara unirateral dari pihak ibu maupun pihak ayah. Jika kelompok kekerabatan tersebut menarik garis keturunan dari pihak ayah disebut keluarga patrilineal, sedangkan jika menarik garis keturunan dari pihak ibu disebut keluarga matrilineal.[12]

2. lembaga sosial

a. Definisi lembaga sosial

Istilah lembaga sosial berasal dari kata institutions, yang menunjuk tentang sesuatu yang telah mapan. Dalam pengertian sosiologis lembaga dapat dilukiskan sebagai suatu organ yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat.

Berger mendefinisikan lembaga sebagai suatu prosedur yang menyebabkan perbuatan manusia ditekan oleh pola tertentu dan dipaksa bergerak melalui jalan yang dianggap sesuai dengan keinginan masyarakat. W. Hamilton mendefinisikan lembaga sebagai tata cara kehidupan kelompok, yang apabila dilanggar akan dijatuhi derajat sanksi.

Banyak ahli berbeda pendapat mengenai definisi dari social institutions sebagian mendefinisikan sebagai lembaga sosial dan sebagian yang lain mendefinisikan sebagai lembaga kemasyarakatan.

Berikut ini dikemukakan definisi social institutions dari para ahli:

1)      Polak ( 1979 ), menyatakan bahwa lembaga atau social institutions adalah suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting

2)      Selo Soemadjan dan Soelaiman  Soemardi ( 1964 ), menerjemahkan social institutions sebagai lembaga kemasyarakatan

3)      Maclver dan Charles H. Page ( 1957 ), mendefinisikan bahwa lembaga kemasyarakatan adalah tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan yang dinamakan asosiasi

4)      Leopold von Wiese dan Howard Becker melihat lembaga kemasyarakatan dari segi fungsinya, yaitu sebagai suatu jaringan proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan kepentingan manusia dan kelompoknya

5)      Sumner melihat lembaga kemasyarakatan dari segi kebudayaan, yaitu sebagai perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan, bersifat kekal serta bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar ada keteraturan dan integrasi dalam masyarakat

6)      Soekarno ( 2002 ), mendefinisikan lembaga masyarakat sebagai himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kehidupan pokok di

dalam masyarakat.

Dari perbedaan istilah para ahli di atas, yang penting ialah bahwa social institutions lebih menunju adanya unsur-unsur yang mengatur prilaku warga dalam kehidupan sosial masyarakat. Istilah lembaga soaial disini artinya, bahwa lembaga sosial lebih menunjuk pada suatu bentuk prilaku sosial anggota masyarakat dalam kehidupan bersama, sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut.[13]

b. Latar belakang terjadinya lembaga sosial

Terjadinya lembaga sosial bermula dari tumbuhnya suatu kekuatan ikatan hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat. Ikatan hubungan antar manusia tersebut erat kaitannya dengan keberlakuan suatu norma sebagai patokan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti kebutuhan akan rasa keindahan, keadilan, pendidikan, ketenteraman keluarga dan sebagainya. Kebutuhan akan pendidikan kemudian menimbulkan lembaga pendidikan, seperti sekolah dasar, pesantren sampai pada perguruan tinggi. Kebutuhan akan keindahan kemudian menimbulkan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya seperti seni rupa, seni tari dan begitu seterusnya proses kelembagaan kebutuhan-kebutuhan lainya.

Menurut Soerjono Soekanto ( 1982 ) bahwa tumbuhnya lembaga sosial oleh karena manusia dalam hidupnya memerlukan keteraturan-keteraturan maka dirumuskan norma-norma dalam masyarakat. Dalam sosiologi di kenal ada 4 proses kelembagaan, yaitu:

1)      Cara ( Usage ) yaitu menunjuk kepada suatu perbuatan.

2)      Cara menunjuk kepada suatu perbuatan tersebut berlanjut sehingga menjadi suatu kebiasaan ( fokways ), yaitu perbuatan yang sering di ulang-ulang dalam setiap mencapai tujuan tertentu.

3)      Apa bila kemudian kebiasaan itu di terima sebagai patokan atau norma pengatur kelakuan bertindak, maka di dalamnya terdapat unsur pengawas dan jika terjadi penyimpangan, pelakunya akan di kenakan sanksi yang tegas.

4)      Tata kelakuan yang semakin kuat mencerminkan kekuatan pola kelakuan masyarakat yang mengikat para anggotanya, tata kelakuan ini disebut sebagai adat istiadat. Bagi anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat tersebut maka akan di kenakan sanksi yang lebih keras. Di Lampung, suatu kabaian atau pantangan apabila seorang gadis mendatangi pria idamannya karena rindu yang tidak tertahan, bahkan ia dapat di kucilkan dari hubungan bujang-gadis karena dianggap tidak suci lagi.

Hasan Shadily ( 1984 ) dalam bukunya “Sosiolapgi Untuk Masyarakat Indonesia “, di jelaskan bahwa adat-adat yang oleh anggota golongan, terutama oleh masyrakat sederhana, sangat keras di pertahankan dan pelanggaranya di hukum mati yaitu antara lain, Tabu, larangan keras untuk menginjak daerah yang dikatakan suci, atau berbuat sesuatu yang salah atau yang dilarang. Dalam agama Islam banyak lagi paham-paham lembaga hukum seperti haram, makruh, sah, dan sebagainya yang mempunyai ari-arti yang tegas.[14]

Menurut Jhonson ( 1967 ),  bahwa suatu norma atau lembaga dalam suatu sistem sosial tertentu, paling sedikit mempunyai tiga syarat yaitu:

a)      Bagian terbesar dari warga suatu sistem sosial menerima norma tersebut.

b)      Norma tersebut telah menjiwai bagian terbesar warga-warga terbesar sistem sosial tersebut.

c)      Norma tersebut bersanksi.

Menurut Soekanto ( 2002:199 ), secara umum lembaga kemasyarakatan ini untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya lembaga kemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi antara lain:

(1) Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat bagaimana mereka harus beringkahlaku atau besikap menghadapi masalah-masalah dalam masyrakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.

(2) Menjaga keutuhan masyarakat.

(3) Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial. Artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-angotanya.

c. Proses Pertumbuhan Lembaga Kemasyarakatan

Proses pelembagaan adalah proses yang terjadi pada suatu norma untuk menjadi suatu bagian dari suatu lembaga sosial sehinga di kenal, diakui, dimengerti, dihargai, dan ditaati oleh masyarakat. Proses pelembagaan sebenarnya bisa lebih jauh lagi sehingga suatu norma sosial menjadi internalizet ( mendarah daging ). Yaitu semua taraf pengembangan itu di mana para anggota masyarakat dengan sendirinya berperilaku sejalan dengan perilaku yang sejalan dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Lembaga sosial adalah pranata yang berperan dalam mengendalikan perilaku menyimpan. Pranata adalah seperangkat peraturan yang berkisar pada kegiatan sosial tertentu. Dengan kata lain pranata merupakan tata cara yang diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia dalam suatu kelompok masyarakat.

Ciri-ciri pranata:

1)      Mempunyai beberapa tujuan dan tingkat kekekalan tertentu

2)      Memiliki alat-alat perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan

3)      Memiliki tradisi yang tertulis maupun tak tertulis

4)      Memiliki lembaga-lembaga tertentu

5)      Merupakan suatu organisasi dari pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku

6)      Mempunyai alat-alat sosial yang memegang peranan penting

Beberapa pranata sosial yang memegang peranan penting:

a)      Polisi, adalah aparat keamanan yang bertindak untuk mencegah dan mengatasi

b)      perilaku menyimpang. Dilakukan dengan cara menangkap, memeriksa atau menyidak warga masyarakat yang melakukan perilaku menyimpang, selanjutnya mengajukan ke pengadilan

c)      Pengadilan, adalah bagian dari lembaga kehakiman yang bertugas menyelenggarakan proses peradilan terhadap orang-orang yang di tuduh melanggar hukum. Tugas pokoknya adalah memeriksa dan memutuskan perkara dengan seadil-adilnya berdasarkan barang bukti dan sakai-saksi yang menyakinkan.

d)     Adat, adalah kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung dan menjadi norma dalam masyarakat atau pola-pola prilaku tertentu dari warga masyarakat di suatu daerah tettentu. Dalam adat istiadat terkandung serangkaian nilai, pandangan hidup, cita-cita, pengetahuan, dan keyakinan serta aturan-aturan yang saling berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan yang bulat. Fungsinya sebagai pedoman tertinggi dalam bersikap dan berperilaku bagi seluruh warga masyarakat

e)      Tokoh masyarakat, adalah orang-orang yang dituangkan dalam lingkungan, sehingga ucapan, sikap dan perilakunya bisa diteladani orang banyak. Dengan demikian nasehat, saran, pemikiran dan cotoh tindakannya dapat mempengaruhi dan mengendalikan perilaku orang-orang sekitarnya. Tokoh masyarakat antara lain ketua adat, kepala suku, pemimpin agama, pemimpin organisasi kemasyarakatkan, pemimpin formal, dokter, seniman besar yang berkepribadian kuat.[15]

c. Lembaga-Lembaga Sosial Keagamaan Islam Di Indonesia

Lembaga-lembaga sosial keagamaan islam di Indonesia sangat besar peranannya seperti organisasi ulama Indonesia yang biasa disebut :

1)     Majelis Ulama Indonesia (MUI),

2)     Persatuan Pemuda/Pelajar/Mahasiswa

3)     Persatuan Pengusaha dan lain-lainnya.

Selain itu ada juga yang disebut NU, lembaga ini bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah, terutama dalam bidang pembinaan pesantren di berbagai daerah di Indonesia. Begitu juga dengan Muhamadiyah, lembaga ini bergerak dalam bidang pendidikan, kemasyarakatan. Banyak sekolah didirikan baik sekolah agama maupun sekolah umum diberbagai tempat di Indonesia. Selain itu juga terdapat lembaga-lembaga lainnya yang bersifat kemasyarakatan yang berada di daerah-daerah yang lebih rendah seperti desa, RT, RW.[16]

3. Sumber-Sumber Struktural

Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.

Di dalam kelompok sendiri pada dasarnya telah terbangun sebuah kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma. Perubahan mungkin saja tidak terjadi apabila terdapat penolakan-penolakan dari dalam kelompok. Proses perubahan membawa kelompok pada keseimbangan baru. Perubahan terjadi apabila driving forces lebih kuat dibandingkan resistences. Pada tahap ini seringkali terjadi konflik dan “polarisasi” di dalam kelompok. Kelompok mayoritas akan berusaha menekan kelompok minoritas. Seringkali kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di dalam kelompok didasarkan pada relasi antara individu dan standar perilaku di dalam kelompok. Beberapa individu mungkin memiliki perilaku yang berbeda dengan standar perilaku di dalam kelompok. Apabila individu tetap mempertahankan perbedaan tersebut maka individu akan dikucilkan oleh kelompok dan bahkan akan “dikeluarkan” dari kelompok. Oleh karenanya seringkali individu harus berusaha untuk melakukan usaha konformis untuk menyesuaikan dengan standar kelompoknya.

Konflik tidak selamanya memberikan dampak yang jelek pada kelompok. Di dalam kelompok yang sehat justru konflik dianjurkan, hal ini sering dikenal dengan istilah kontroversi. Berbagai studi dalam bidang ilmu perilaku oranisasi yang menunjukkan bahwa adu argumentasi, ketidaksetujuan, debat, ide-ide atau informasi yang bermacam-macam ternyata sangat penting dalam meningkatkan kreatifitas dan kualitas kelompok. Keuntungan yang diperoleh dengan adanya konflik antara lain adalah anggota kelompok akan lebih terstimulasi atau terangsang untuk berpikir atau berbuat sehingga mengakibatkan kelompok menjadi lebih dinamis dan berkembang karena setiap orang mempunyai kesempatan untuk menuangkan ide-ide atau buah pikirannya secara lebih terbuka. Namun, untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam artian produktif konstruktif, konflik harus dikendalikan secara positif.[17]

C. Studi Kasus

1. Sejarah Singkat Lahirnya Kementerian Agama

Lahirnya Kementerian Agama merupakan jawaban kongkrit atas tuntutan sejarah bangsa. Dan lebih dari itu hal ini merupakan jaminan atas pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, terutama sila Ketuhanan dan pasal 29 dari UUD 1945.

Keberadaan Kementerian Agama yang ada mulanya bernama Kementerian Agama, awalnya diusulkan oleh utusan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Kepresidenan Banyumas (K.H. Abu Dardiri, H.M. Saleh Suaidy dan M. Sukeso Wirya Saputra) pada sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jakarta pada tanggal 24-28 Nopember 1945.

Usulan mereka disetujui oleh sidang, kemudian keputusan sidang tersebut diproses. Dan pada tanggal 3 Januari 1946, pemerintah mengumumkan berdirinya Kementerian Agama RI dengan Menteri Agamanya yaitu H.M. Rasyidi, BA. Maka dari sejarah singkat itulah, tanggal 3 Januari diperingati sebagai Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian Agama.

2. Sejarah Singkat Kementerian Agama Kota Sukabumi

Kementerian Agama Kota Sukabumi sejak tahun 1975 sampai dengan tahun 1982 pada awalnya bergabung dengan kabupaten, dengan nama Kantor Perwakilan Kementerian Agama Kokab Sukabumi yang beralamat di Jl. Surya Kencana Sukabumi.

Sejak tanggal 1 April 1982 Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi terpisah dari Kementerian Agama Kabupaten Sukabumi, dengan Kepala Kantor Kementeriannya yang pertama yaitu H. Muhammad Yunus HZ, BA. (almarhum) yang berkantor di Jalan Taman Bahagia No. 34 Sukabumi sampai sekarang.

Dalam sejarah pergantian kepala kantor, sampai saat ini tercatat sudah ada 9 Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi, yaitu :

  1. H. Muhammad Yunus HZ, BA. (1975 – 1983 )
  2. Drs. H. Mamak Muhammad Zein (1983 – 1988 )
  3. Drs. H. Muchrodin (1988 – 1990 )
  4. Drs. H. Odong Sanusi(1990 – 1995)
  5. H. Aluh Darussalam, S.Ag.(1995-1996)
  6. Drs. H. Idim Taufik (1996-1999)
  7. Drs. H. Unang Sobandi (1999-2004)
  8. Drs. H. Effendi Ali, MM.(2004-2007)
  9. H. Abu Bakar Sidik, M.Ag.(2007-sekarang)

3. Tugas dan Fungsi

Berdasarkan KMA Nomor 373 Tahun 2002, Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi mempunyai tugas melaksanakan tugas pokok dan fungsi Kementerian Agama dalam wialayah kota berdasarkan kebijakan Kepala Kantor wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat dan peraturan perudang-undangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi menyelenggarakan fungsi :

  1. Perumusan visi, misi dan kebijakan teknis di bidang pelayanan dan bimbingan kehidupan beragama kepada masyarakat.
  2. Pembinaan, pelayanan dan bimbingan di bidang bimbingan masyarakat Islam pelayanan haji dan umrah, pengembangan zakat dan wakaf, pendidikan agama dan keagamaan, pondok pesantren, pendidikan agama Islam pada masyarakat dan pemberdayaan masjid, urusan agama, pendidikan agama, bimbingan masyarakat Kristen, Katolik, Hindu, serta Budha sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Pelaksanaan kebijakan teknis di bidang pengelola administrasi dan informasi keagamaan.
  4. Pelayanan dan bimbingan di bidang kerukunan umat beragama.
  5. Pengkoordinasian, perncanaan pengendalian dan pengawasan program.
  6. Pelaksanaan hubungan dengan pemerintah daerah, instansi terkait dan lembaga masyarakat dalam rangka pelaksanaan tugas Kementerian Agama di kabupaten/ kota.

4. Program Kerja dan Realisasi Program

Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya tersebut, berbagai aktifitas pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat di tahun anggaran 2010 ini telah dilakukan oleh aparatur Kementerian Agama Kota sukabumi sesuai dengan tugas, kewenangan dan kewajiban masing-masing. Program kerja disusun dengan kerangka SAKIP dan LAKIP (Sistem dan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah), laporan dan evaluasi program dilakukan secara rutin tiap bulan dan berkala.
Dalam rangka meningkatkan disiplin dan kinerja pegawai, kekeluargaan, persatuan dan kebersamaan merupakan media efektif yang dilaksanakan di Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi, kunjungan silaturahmi dan koordinasi, apel pagi (Senin dan Kamis), pembinaan rutin, pakaian seragam, tadabur alam dsb.

5. Susunan Organisasi dan Pegawai

Sejak dikeluarkannya Keppres No. 49 Tahun 2002 tentang Kementerian Agama dan KMA No. 373 Tahun 2002, susunan organisasi Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi termasuk ke dalam Tipologi I-A. Berdasarkan data sampai tanggal 30 Nopember 2009, pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi berjumlah 355 orang, yang tersebar di unit-unit kerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.

6. Visi

Sejalan dengan salah satu misi Indonesia jangka panjang untuk Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila serta Visi Kementerian Agama RI, yakni Terwujudnya masyarakat Indonesia yang taat beragama, maju, sejahtera, dan cerdas serta saling menghormati antar sesama pemeluk agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat merumuskan Visi sebagai berikut : Terwujudnya aparatur Yang profesional, transparan dan akuntabel menuju masyarakat Jawa Barat Yang taat beragama, sejahtera dan berwawasan maju.
Maka Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi merumuskan Visi sebagai berikut :
terwujudnya masyarakat kota sukabumi yang taat beragama, cerdas, sehat, rukun dan sejahtera.

Melalui visi ini Kantor Kementerian Agama Kota sukabumi secara bertahap dapat melakukan berbagai upaya menuju arah tersebut. Sehingga pada waktunya harapan-harapan tersebut dapat terwujud.

7. Misi

Untuk mewujudkan visi Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi dijabarkan dalam misi sebagai berikut :

  1. Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui upaya menwujudkan aparatur yang amanah dan profesional.
  2. Meningkatkan kualitas pembinaan dan pelayanan kehidupan umat beragama.
  3. Meningkatkan kualitas pembinaan dan pelayanan terhadap pendidkan agama dan keagamaan.
  4. Meningkatkan kualitas pembinaan terhadap lembaga agama dan keagamaan dalam upaya meningkatkan perannya dalam memperkuat kerukunan, rasa persatuan dan kesatuan dan sekaligus dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
  5. Meningkatkan kualitas pembinaan keluarga dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
  6. Meningkatkan pembinaan terhadap para calon jamaaah maupun paska jamaah haji dalam upaya mewujudkan dan memelihara kemabruran haji.

8. Arah Kebijakan

Dengan berlandaskan kepada rencana pembangunan jangka panjang nasional tahun 2005-2025 dan memperhatikan keadaan umum pembangunan masyarakat bidang agama dewasa ini, serta visi dan misi yang diemban, maka arah kebijakan pembangunan bidang agama Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi sebagai berikut :

  1. Meningkatkan dukungan teknis dan administrasi secara efektif dan efisien baik dilingkungan Kantor Kementerian Agama maupun Kantor Urusan Agama
  2. Meningkatkan pelayanan pengelolaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan
  3. Membantu penyelenggaraan kegiatan pendidikan agama dan keagamaan
  4. Meningkatkan penyelenggaraan pengendalian pelaksanaan program kerja dan kegiatan serta terukur
  5. Meningkatkan sarana dan prasarana di lingkungan kantor Kementerian Agama maupun Kantor Urusan Agama Kecamatan
  6. Meningkatkan hubungan kelembagaan dalam pengelolaan dana sosial keagamaan dan wakaf
  7. Meningkatkan kualitas dan pembinaan terhadap sumber daya manusia
  8. Memantapkan kerukunan umat beragama
  9. Peran aktif dalam upaya menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan rintisan wajib belajar pendidikan 12 tahun.

Adapun tujuan akhir yang ingin dicapai dalam mengimplentasikan misi adalah :

1)      Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

2)      Meningkatkan kualitas pelayanan modern kepada masyarakat berdasarkan etika dan norma agama

3)      Meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan umat beragama

4)      Meningkatkan peran serta masyarakat/lembaga-lembaga sosial keagamaan /lembaga-lembaga pendidikan dalam proses membangun masyarakat yang taat beragama

Yang dijabarkan dalam bentuk sasaran yang akan dicapai yaitu:

1)      Meningkatnya kualitas pemberdayaan Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan dan pemberdayaan lembaga bimbingan keluarga

2)      Meningkatnya pelayanan penyelenggaraan ibadah haji

3)      Meningkatnya manajemen pengelolaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan:

4)      Meningkatnya fasilitas sarana dan prasarana penyelenggaraan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan

5)      Meningkatnya pengelolaan dan pembinaan administrasi perencanaan, kepegawaian, keuangan dan aset-aset negara serta penataan kearsipan

6)      Meningkatnya pelayanan teknis operasional unit kerja pada Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi.

7)      Meningkatnya sistem penyelenggaraan administrasi umum dan dukungan informasi

8)      Meningkatnya penyelenggaraan pengendalian pelaksanaan program kerja dan anggaran

9)      Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana pendidikan pada madrasah

10)  Meningkatnya hubungan kelembagaan pengelola zakat, wakaf dan lembaga-lembaga sosial keagamaan

11)  Meningkatnya kompetensi dan kesejahteraan guru pendidikan agama dan keagamaan; Meningkatnya wawasan multikultural bagi guru-guru pendidikan agama dan guru pada madrasah; Meningkatnya indeks prestasi peserta didik; Meningkatnya intensitas dan kualitas penyelenggaraan kegiatan pendidikan agama pada masyarakat; Meningkatnya kompetensi dan kuantitas tenaga penyuluh agama;

a)      Memperkokoh kerukunan umat beragama

b)      Tuntasnya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun

c)      Terselenggaranya wajib belajar pendidikan menengah

D. Analisis

Dari pengertian struktur sosial adalah sebagai tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan perilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat, maka di sini jelas yang di namakan struktur sosial memiliki peranan yang berpengaruh terhadap masyarakat, terutama pada tingkah laku masyarakat aatau sosial yang berpacu pada batas-batas perangkat unsur sosial, sehingga dapat terbentuknya suatu masyarakat tertentu. Disamping itu struktur sosial juga mempunyai ciri-ciri, fungsi dan bentuk tersendiri, sehingga kita dapat membedakan struktur sosial yang kita pakai dan juga bertujuan untuk mendsiplinkan dan untuk tercapainya suatu masyarakat yang kiat inginkan.

Dilihat dari pengertian lembaga sosial adalah merupakan lembaga atau organisasi damana di dalamnya terdapat unsur-unsur yang mengatur prilaku warga dalam kehidupan sosial masyarakat, disini jelas bahwa yang dinamakan lembaga sosial merupakan bagian dari struktur sosial yang mana struktur sosial adalah sebagian tatanan kehidupan masyarakat saja, sedangkan lembaga sosial ini merupakan suatu organisasi atau lembaga yang mengatur kehidupan bermasyarakat dimana di dalamnya terdapat sistem-sistem atau norma-norma yang harus di ta’ati oleh masyarakat supaya struktur sosial yang suadah di bentuk bisa searah dengan fungsi dan tujuannya. Maka dari itu kita sebagai kelompok atau masyarakat harus bisa menyesuaikan diri terhadap peraturan-peraturan yang ada yang telah di tetapkan didalam lembaga sosial sehingga segala tingkah laku kita sebagai kelompok tidak akan keluar dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan yang yang telah di tetapkan dan kita terapkan di dalam kehidupan kita semua.

Sedangkan di lihat dari sumber sturkturalnya yang berarti perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidak seimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru, dan ini disebabkan penolakan-penolakan dari dalam kelompok baik dalam bentuk peraturan yang sudah di tetapkan oleh lembaga sosial maupun kuarang sepakatnya terhadap norma-norma yang sudah ada, sehingga sumber-sumber struktural ini bisa terjadi dan mengakibatkan konflik, tetapi konflik tidak selamanya memberikan dampak yang jelek pada kelompok. Di dalam kelompok yang sehat justru konflik dianjurkan, hal ini sering dikenal dengan istilah kontroversi, contohnya adu argumentasi, ketidaksetujuan, debat, ide-ide atau informasi yang bermacam-macam ternyata sangat penting dalam meningkatkan kreatifitas dan kualitas kelompok. Maka dari itu meskipun kita telah mengetahui bahwa timbulnya konflik antara kelompok satu dan kelompok lainnya itu berakibat buruk, maka seharusnya kita melihat dari sisi baiknya sehingga konflik tersebut tidak akan terjadi lagi sehingga menimbulkan kriminalitas yang berakibat pad diri kita sendiri.

E. Kesimpulan

1.    Pengertian struktur sosial adalah tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan perilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat, dan mengandung ciri, fungsi dan bentuk sebagai berikut:

Ciri-ciri struktur sosial:

a.       Struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang pokok yang dapat memberikan bentuk dasar pada masyarakat

b.      Konsep struktur sosial di terapkan pada totalitas, seperti pada lembaga, kelompok dan proses sosial

c.       Struktur sosial mencakup semua hubungan sosial antara individu-individu pada saat tertentu

d.      Struktur sosial merupakan seluruh kebudayaan masyarakat yang dapat di lihat

dari sudut pandang yang teoritis

Fungsi struktur sosial:

a.       Fungsi mempertahankan pola

b.      Fungsi adaptasi

c.       Fungsi pencapaian tujuan

d.      Fungsi integrasi

Bentuk-bentuk strutur sosial:

a.       Stratifikasi sosial

b.      Diferensiasi sosial

2.    Pengertian lembaga sosial adalah suatu oragan yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat dan lebih menunjuk pada suatu bentuk prilaku sosial anggota masyarakat dalam kehidupan bersama, sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut. Dan proses pelembagaannya sebagai berikut:

a.       Cara ( Usage ) yaitu menunjuk kepada suatu perbuatan

b.      Perbuatan yang sering di ulang-ulang dalam setiap mencapai tujuan tertentu

c.       Unsur pengawas dan jika terjadi penyimpangan, pelakunya akan di kenakan sanksi yang tegas

d.      Tata kelakuan yang semakin kuat mencerminkan kekuatan pola kelakuan masyarakat yang mengikat para anggotanya

lembaga sosial keagamaan islam di Indonesia:

a.      Majelis Ulama Indonesia (MUI),

b.      Persatuan Pemuda / Pelajar / Mahasiswa

c.      Persatuan Pengusaha dan lain-lainnya

3.    Sumber-sumber struktural merupakan hasil pemikir fungsionalis yang menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.


[1] Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksa 2007 Hal 67

[2] Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksa 2007 Hal 68

[3] Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksa 2007  Hal  68-70

[4] Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksa 2007 Hal 70

[5] Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksa 2007 Hal 72

[6] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 12

[7] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 14

[8] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 15-16

[9] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 5

[10] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 6-7

[11] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 10

[12] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 11-12

[13] Dr basrowi, M.S pengantar sosiologi ci awi bogor ghalia indonesia 2005 hal 92-93

[14] Abdul syani, sosiologi skematika, teori dan terapan,jakarta bumi aksa 2007 hal 76-77

[15] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 78-79

[15] Amiek S, S.Pd Sosiologi Jl Surya CV HaKa MJ  Hal 43-45

[17] Amiek S, S.Pd Sosiologi Jl Surya CV HaKa MJ Hal  46

B. Konsep Teori

1. Struktur Sosial

a. Definisi Struktur Sosial

Secara harfiah, struktur bisa diartikan sebagai susunan atau bentuk. Struktur tidak harus dalam bentuk fisik, ada pula struktur yang berkaitan dengan sosial. Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Susunannya bisa vertikal atau horizontal. Mengenai istilah struktur sosial di kalangan ahli di Indonesia memang belum ada kesepakatan untuk menentukan secara pasti tentang definisinya. Sebagian para ahli menganggap struktur sosial identik dengan penggambaran tentang suatu lembaga sosial, sebagian lain menggambarkan struktur sosial sebagai   istilah pranata sosial, bangunan sosial dan lembaga kemasyarakatan.

Dalam antropologi sosial, konsep struktur sosial sering di anggap sama dengan organisasi sosial, terutama apabila dihubungkan dengan masalah kekerabatan dan kelembagaan atau hukum pada masyarakat yang tergolong bersahaja. Menurut Firth (Soerjono Soekanto:1983), bahwa organisasi sosial berkaitan dengan pilihan dan keputusan dalam hubungan-hubungan sosial aktual. Struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang lebih fundamental yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat, yang memberikan batas-batas pada aksi-aksi yang mungkin di lakukan secara organisatoris. Sedangkan E.R Leach menetapkan konsep tersebut pada cita-cita tentang distribusi kekuasan diantara orang-orang dan kelompok-kelompok.[1]

Dari pendapat tersebut dapat di artikan bahwa struktur sosial mencakup berbagai hubungan sosial antara individu-individu secara teratur pada waktu tertentu yang merupakan keadaan statis dari suatu sistem sosial. Jadi struktur sosial tidak hanya mengandung unsur kebudayaan belaka, melainkan skaligus mencakup seluruh prisip-prinsip hubungan-hubungan sosial yang bersifat tetap dan stabil.

Dalam sosiologi, struktur sosial sering di gunakan untuk menjelaskan tentang keteraturan sosial, yang menunjuk pada prinsip perilaku yang berulang ulang dengan bentuk dan cara yang sama. Secara sosiometris kadang-kadang dapat diartikan sebagai konsep psikologis hubungan-hubungan sejumlah anggota dalam krlompok kecil. Menurut Soerjono Soekamto (1983), bahwa struktur sosial dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan antara peranan-peranan Interaksi dalam sistem sosial di kosepkan secara terperinci dengan menjabarkan tentang manusia yang menempati posisi-posisi dan melaksanakan peranannya (dalam sosiologi disebut sebagai pendekatan struktural-fungsional). Sedangkan Parso memandang struktur sosial sebagai aspek yang relatif lebih statis dari pada aspek fungsional dalam sistem sosial.

Dengan demikian, pengertian maka secara singkat struktur sosial dapat didefinisikan sebagai tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan perilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat.[2]

b. Ciri-Ciri Struktur Sosial

Untuk lebih jelasnya di bawah ini di jelaskan beberapa ciri umum dari struktur sosial :

1)      Struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang pokok yang dapat memberikan bentuk dasar pada masyarakat memberikan batas-batas pada aksi-aksi yang kemungkinan besar di lakukan secara organisatoris. Konsep struktur sosial di terapkan pada totalitas, seperti pada lembaga, kelompok dan proses sosial. Struktur sosial di satu pihak dapat berupa hubungan-hubungan sosial antar anggota kelompok masyarakat, di pihak lain srtuktur sosial merupakan ketetapan dari pada cita-cita tentang kekuasaan di antara anggota-anggota masyarakat tertentu.

2)      Struktur sosial mencakup semua hubungan sosial antara individi-individu pada saat tertentu. Oleh karena itu maka struktur sosial dapat di sebut sebagai aspek non proses dari sistem sosial, yang pada intinya adalah situasi statis dari sistem sosial. Struktur sosial merupakan kerangka acuan yang utama dalam setiap studi tentang keteraturan hubungan-hubungan masyarakat.

3)      Struktur sosial merupakan seluruh kebudayaan masyarakat yang dapat di lihat dari sudut pandang yang teoritis. Artinya dalam meneliti, setiap meneliti tentang kebudayaan sebaiknya di arahkan pada pemikiran terhadap berbagai derajat dari susunan sosialnya. Dengan demikian struktur sosial dapat di pandang sebagai suatu kenyataan empiris yang ada pada setiap saat terjadi hubungan sosial antar manusia. Struktur sosial merupakan abstraksi dari kenyataan yang menyangkut kurun waktu tertentu yang pada prinsipnya tidak terlepas pada perilaku, perasan dan kepercayaan, di samping menyangkut kehidupan yang aktual.

4)      Struktur sosial merupakan realitas sosial yang bersifat statia atau kenyataan yang membeku sehingga dapat di lihat kerangka tatanan dari berbagai bagian tubuhnya yang berbentuk struktur. Jadi, struktur sosial adalah aspek statia dari suatu proses atau fungsionalisasi dari sistem sosial.

5)      Struktur sosial merupakan tahapan perubahan dan perkembangan masyarakat yang mengandung dua pengertian, yang pertama, di dalam struktur sosial terdapat peranan yang bersifat empiris dalam proses perubahan dan perkembangan. Kedua, dalam setiap perubahan dan perkembangan tersebut terdapat tahap perhentian stabilitas keteraturan dan integrasi sosial yang berkesinambungan sebelum kemudian terancam proses ketidakpuasan dalam tubuh masyarakat. Pada ciri kelima ini dalam sosiologi sering di gunakan untuk melukiskan keteraturan sosial atau keteraturan elemen-elemen dalam kehidupan masyarakat.

Dari ciri-ciri diatas dapat di simpulkan bahwa struktur sosial adalah suatu tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang merupakan jaringan dari pada unsur-unsur sosial yang pokok.

Menurut Soerjono Soekanto, unsur-unsur sosial yang pokok adalah sebagai berikut:

a)      Kelompok sosial

b)      Kebudayaan

c)      Lembaga sosial

d)     Stratifikasi sosial

e)      Kekuasaan dan wewenang.[3]

c. Fungsi Struktur Sosial dalam Kehidupan Masyarakat

Dalam buku sosiologi kelompok dan masalah sosial, di jelaskan bahwa dalam struktur sosial banyak dijumpai berbagai aspek sosial. Dengan struktur sosial, maka secara psikologis anggota masyarakat merasa ada batas-batas tertentu dalam setiap melakukan aktivitasnya, individu dengan setianya menyesuaikan diri dengan ketertiban atau keteraturaan masyarakat yang ada. Dalam keadaan demikian, norma-norma dan nilia-nilai dalam kemasyarakatan paling tidak berfungsi sebagai pembatas dalam berperilaku agar tidak melanggar norma-norma yang ada. Menurut mayor Polak (1979), berfungsi sebagai pengawasan sosial yaitu sebagai penekan-penekan kemungkinan pelanggaran terhadap norma-norma, nilai-nilai, peraturan-peraturan tadi. Sehingga disiplin dalam kelompok cenderung dapat di pertahankan. Tujuan untuk mendisiplinkan kelompok pada dasarnya di dorong oleh suatu keinginan dan semangat persatuan diantara anggota kelompok, kesadaran menerima hukuman dan norma-norma yang berlaku, dan tunduk pada kepentingan dan kesejahteraan kelompok secara keseluruhan.

Menurut pendapat Emile Durkheim bahawa keteraturan itu di sebabkan beberapa faktor pengikatnya yang di tingkatkan menjadi moralitas masyarakat itu adalah antara lain:

1)      Kontrol sosial

2)      Stabilitas keluarga yang besar

3)      Sifat heteroginitas lebih kecil dari pada sifat kolekti vitas

Struktur sosial dapat berfungsi sebagai dasar untuk menanamkan disiplin sosial karena aturan disiplinnya berasal dari dalam kelompok sendiri, maka perlakuan pengwasan kelompok sendiri cenderung lebih mudah untuk dapat diterima sebagai kepentingan diri sendiri. Dengan berlakunya proses tersebut maka setiap anggota kelompok akan mendapat pengetahuan dan kesadaran terutama perihal sikap, adat kebiasaan,dan kepercayaaan group feelingnya. Dengan demikian anggota kelompok dapat mengetahui bagaimana cara bersikap dan bertindak sesuai dengan ketentuan dan harapan sehingga kemungkinan perbedaan paham sedikit dapat di kurangi.[4]

Dalam teori sebernetik tentang Generl System of action ( Ankei M.M. Hoogvelt 1985 ), di jelaskan bahwa masyarakat akan dapat di analisis dari sudut syarat-syarat fungsionalnya:

a)      Fungsi mempertahankan pola ( pattern maintanance ). Fungsi ini berkaitan hubungaan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem kebudayaan. Hal ini berarti mempertahankan prinsip-prinsip tertinggi dari masyarakat oleh karena itu di orientasikan realitas yang terkhir.

b)      Fungsi integrasi. Hal ini mencakup jaminan terhadap koordinasi yang di perlukan antara unit-unit dari suatu sistem sosial khususnya yang berkaitan dengan kontribusinya pada organisasi dan berperananya keseluruhan sistem.

c)      Fungsi pencapaian tujuan ( goal attainment ). Hal ini menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem aksi keperibadian. Fungsi ini menyangkut penentuan tujuan-tujuan yang sangat penting bagi masyarakat, mobilisasi, warga masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut.

d)     Fungsi adaptasi yang menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem organisme prilaku dan dengan dunia fisiko organik. Hal ini secara umum menyangkut penyesuaian masyarakat terhadap kondisi-kondisi dari lingkungan hidupnya.[5]

d. Bentuk Struktur Sosial

Bentuk struktur sosial terdiri dari stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial. Masing-masing punya ciri tersendiri.

1) Stratifikasi Sosial

Stratifikasi berasal dari kata strata atau tingkatan. Stratifikasi sosial adalah struktur dalam masyarakat yang membagi masyarakat ke dalam tingkatan-tingkatan. Ukuran yang dipakai bisa kekayaan, pendidikan, keturunan, atau kekuasaan. Max Weber menyebutkan bahwa kekuasaan, hak istimewa dan prestasilah yang menjadi dasar terciptanya stratifikasi sosial.

Beberapa pengertian stratifikasi menurut para ahli, antara lain sebagai berikut:

a)      Menurut Robert M.Z. Lawang, strstifikasi sosial adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu kedalam lapisan-lapisan hierarkis menurut dimensi kekuasaan.

b)      Menurut Horton dan Hunt, stratifikasi sosial berarti sistem perbedaan status yang berlaku dalam suatu masyarakat

c)      Menurut soerjono Soekarto, dengan mengutif pendapat Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa strstifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat

d)     Menurut Bruce J. Cohen, stratifikasi sosial adalah sisitem yang menempatkan seseorang sesuai dengan kualitas yang di miliki dan menempatkan mereka pada kelas sosial yang sesuai

e)      Menurut Astrid S. Susanto, stratifikasi sosial adalah hasil kebiasaan hubungan antar manusia secara teratur dan tersusun sehingga setiap orang setiap saat mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang secara vertikal maupun horizontal dalam masyarakatnya.[6]

Bentuk stratifikasi sosial dapat di lihat dari beberapa segi, antara lain dari proses , sifat, dasar-dasar pelapisan sosial.

1.      Stratifikasi Dilihat dari Segi Proses

Ada dua bentuk stratifikasi dari segi proses,yaitu sebagai berikut.

a.    Stratifokasi yang terjadi dengan sendirinya, alasan terjadinya stratifikasi sosial adalah kepandaian, tingkat umur, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian anggota dan kerabat seorang kepala serta harta.

b.    Stratifikasiyang terjadi dengan sengaja untuk tujuan bersama. Biasanya dilakukan dalam pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi yang formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata atau perkumpulan.

2.      Stratifikasi Dilihat dari Segi Sifat

Bentuk stratifikasi sosial dilihat dari segi sifat yaitu sebagai berikut.

a.                             Stratifikasi Sosial Terbuka

Dalam sistem stratifikasi sosial yang terbuka setiap anggota masysrakat memiliki kesempatan untuk berusaha naik ketingkat lapisan yang lebih tinggi atau jika kurang beruntung akan terjatuh ke lapisan yang lebih rendah. Kelebihan dari sistem ini adalah danya rangsangan dari setiap orang untuk mengejar kemajuan. Semakin maju seorang tingkat stratifikasipun akan naik. Akan tetapi kelemahanya adalah adanya kemungkinan perasaan was-was karena khawatir tergeser kedudukanya ke lapisan bawah

b.                            Stratifikasi Sosial Tertutup

Stratifikasi yang bersifat tertutup membatasi kemungkinan berpindahnya seseorang dari lapisan satu ke lapisan yang lain baik yang bergerak keatas maupun yang kebawah. Satu-satunya jalan masuk menjadi anggotanya denagan kelahiran. Sistem yang tertutup dapat dilihat dari masyarakat India yang memakai sistem kasta, atau dalam masyarakat feodal, dalam masyarakat tempat pelapisan sosialnya bergantung pada perbedaan rasial.

Kasta di India memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1)      Keanggotaannya berdasarkan kelahiran. Anak yang lahir memiliki kedudukan yang sama dengan orang tuanya.

2)      Keanggotaannya berlaku seumur hidup, kecuali ia dikeluarkan dari kastanya

3)      Perkawinan bersifat endogami, artinya harus dipilih dari orang yang sekasta

4)      Hubungan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya bersifat terbatas

5)      Adanya kesadaran pada keanggotaan suatu kasta, misalnya nama kasta dan identifikasi anggota pada kastanya

6)      Terikat pada kedudukan-kedudukan

7)      Prestise suatu kasta benar-benar diperhatikan

Sistem stratifikasi yang tertutup juga dapat di temui di masyarakat bali. Menurut kitab sucinya, orang bali terbagi kedalam empat lapisan, yaitu:

a)                Brahmana

b)                Satria

c)                waisya

d)               sudra

Ketiga lapisan pertama disebut Triwangssa, sedangkan lapisan yang terakhir disebut Jaba yang merupakan lapisan dengan jumlah warga yang terbanyak diantara manyarakat Bali. Biasanya, orang mengetahui lapisannya berdasarkan gelar yang disandangnya yang diturunkan secara patrilineal. Untuk gelar kaum Brahmana adalah Ida Bagus, untuk kaum Waisya gelarnya adalah Tjokorda, Dewa dan Ngurah, untuk kaum Waisya adalah Bagus, I Gusti dan Gusti, sedangkan untuk kaum Sudra, seperti Pande, Kbon, Pasek dan seterusnya yang dahulu kala berhubungan erat dengan pekerjaan orang-orang yang memakai gelar yang brsangkutan.[7]

3.      Stratifikasi di lihat dari segi dasar-dasar pelapisan soaial

Dasar pembentukan startifikasi menurut Astrid S. Susanto dalah pembagian kerja, yaitu spesialisasi dan diversifikasi pekerjaan. Spesialisasi ini diartikan sebagai pengelompokan berdasarkan keahlian khusus yang dimiliki setiap individu atau pekerja. Manusia memiliki kecendrungan untuk menilai suatu pekerjaan, penilaian tersebut ditinjau dari segi peranan dari segi peranan yang dimiliki suatu pekerjaan dalam memenuhi kepentingan masyarakatnya. Alasannya, strasitifikasi terjadi dengan meluasnya masyarakat yang diikuti terjadinya pembagian pekerjaan.

Adapun menurut Soerjono Soekanto, ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan, yaitu sebagai berikut:

a.          Kekayaan, adalah orang yang memiliki kekayaan paling banyak atau yang berpenghasilan tinggi termasuk kedalam lapisan paling atas. Kekayaan tersebut dapat dilihat misalnya pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadi dan pakaianya.

b.      Orang yang memiliki kekuasaan atau memiliki kewenangan berpeluang besar menempati lapisan teratas.

c.          Kehormatan, adalah orang yang disegani dan dihormati menempati tempat teratas dan ukuran seperti ini banyak di jumpai pada masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongab tua atau mereka yang pernah berjasa besar     kepada masyarakat.

d.      Ilmu Pengetahuan, artinya orang yang berpendidikan tinggi merupakan gologan yang lebih tinggi dari pada orng yang berpendidikan rendah. Akan tetapi ukuran ini terkadang membawa pengaruh negatif karena seringkali bukan mutu ilmu pemgetahuanya yang di jadikan sebagai ukuran, melainkan gelarnya sehingga dapat mengakibatkan segala macam usaha dilakukan untuk mendapatkan gelar tersebut walaupun tidak halal.[8]

2)      Deferensiasi Sosial

Dalam kehidupan sehari-hari, anda mengetahui adanya perbedaan misalnya ada laki-laki dan perempuan. Selain itu, didalam masyarakat dan pembedaan orang berdasarkan jenis pekerjaan, suku bangsa, atau suku tertentu. Misalnya suku jawa, suku batak, suku banjar, ras negro,dan ras melanisian. Perbedaan tersebut tidak di perlihatkan bahwa laki-laki lebih tinggi dari perempuan, atau suku jawa lebih tinggi dari suku batak. Deferensiasi sosial adalah suatu proses perolehan hak dan kewajiban seseoarang dalam masyarakat yang berbeda satu sama lain atas dasar-dasar tertentu, seperi ras, etnis, agama, gender dan suku bangsa yang tidak menunjukkan adanya tingkatan lebih tinggi atau lebih rendah, perbedaan dalam diferensiasi sosial merupakan perbedaan secara horizontal.

Deferensiasi dapat berkembang menjadi stratifikasi apabila perbedaan hak dan kewajiban tersebut di gunakan sebagai ukuran untuk memperoleh hak-hak yang istimewa dalam hal, kekuasaan, kekayaan serta martabat. Akan tetapi bukan berarti bahwa semua deferensiasi mengarah kepada stratifikasi sosial, karena didalam masyarakat terdapat kekuatan-kekuatan yang mendorong penghapusan perbedaan-perbedaan atau diskriminasi diantara sesama manusia.[9]

a)                Deferensiasi Berdasarkan Ras

Manusia sebagai salah satu makluk yang tinggal di muka bumi ini terbagi-bagi ke dalam kelompok masyarakat yang tidak terhitung jumlahnya. Setiap kelompok juga mengembangkan pandangan tentang in-group dan out-group dan mengembangkan perbedaan berdasarkan perbedaan-perbedaan fisik yang turun temurun yaitu ras. Perbedaan-perbedaan tersebut nampak pada warna kulit, bentuk kepala, bentuk hidung, warna bola mata dan rambutnya. Oleh karena itu ras termasuk kategori individu yang turun temurun terdapat ciri-ciri fisik dan biologis tertentu yang khas. Beberapa pengertian ras menurut para ahli adalah sebagai berikut:

(1)   Bruce J. Cohen

Ras adalah kategori individu yang secara turun temurun memiliki ciri-ciri fisik dan boilogis tertentu yang sama.

(2)   Harton dan Hunt

Ras adalah suatu kelompok manusia yang agak berbeda dengan kelompok-kelompok lainya dalam segi ciri-ciri fisik bawaan. Disamping itu juga banyak ditemukan oleh pengertian yang digunakan oleh masyarakat.

(3) Alex Thio

Ras adalah sekolompok orang yang dianggap oleh masyarakat memiliki ciri-ciri biologis yang berbeda. Ras adalah suatu kelompok atau kategori orang-orang yang mengidentifikasiakn diri mereka sendiri dan diidentifikasikan oleh orang-orang lain, sebagai perbedaan sosial yang dilandasi oleh ciri-ciri fisik atau biologis.

Jadi dengan demikian dapat di tarik kesimpulan bahwa ras adalah kategori individu yang secara turun temurun memiliki ciri-ciri fisik dan biologis tertentu.

b)                Deferensiasi Menurut Etnis

Menurut William Kornblum kelompok etnis adalah suatu populasi yang memiliki identitas kelompok berdasarkan kebudayaan tertentu dan buasanya memiliki leluhur yang secara pasti atau pasti sama. Menurt Alex Thio kelompok etnis adalah sekelompok orang yang saling berbagi warisan kebudayaan tertentu. Dengan kata lain etnis berbeda dengan ras karena kelompok etnis digunakan untuk mengacu pada suatu kelompok atau kategori sosial yang perbedaanya terletak pada kriteria kebudayaan, buka biologis.

Dalam pandangan Bruce J, Cohen kelompok etnis di bedakan oleh karakteristik budaya yang di miliki oleh para anggotanya. Karakteristik itu meliputi agama, bahasa atau kebangsaan di wilayah indonesia.orang dapat mengategorikan individu-individu ke dalam kelompok-kelompok rasial dengan cara mengamati penampilan fisiknya. Akan tetapi kelompok suku dapat di bedakan satu sama lainya hanya melalui analisis yang cermat atas karakteristik kebudayaan mereka.

Sedangkan menurut Horton dan Hunt istilah kelompok etnis disebutkan bagi setiap bentuk kelompok yang secara sosial dianggapada dan telah mengembangkan sub-kulturnya sendiri. Dengan kata lain suatu kelompok etnis adalah kelompok yang di akui oleh masyarakat dan oleh kelompok etnis itu sendiri sebagai kelompok etnis yang tersendiri. Walaupun perbedaan kelompok dikaitkan dengan nenek moyang tertentu namun ciri-ciri pengenalanya dapat berupa bahasa, agama, wilayah kediamanya, kebangsaan, bentuk fisik, atau gabungan dari beberapa ciri tersebut.[10]

c)                Deferensiasi Berdasarkan Agama

Menurut William Kornblum agama adalah sejumlah jawaban logis tentang sebuah dilema keberadaan manusia yang membuat dunia lebih berarti. Adapun pandangan Emile Durkheim agama adalah suatu sistem kepercayaan beserta praktiknya seta berkenaan dengan hal-hal sakral yang menyatukan pengikutnya dalam suatu komunitas moral. Agama berisi tentang:

(1)   Suatu yang dianggap sakral melebihi kehidupan duniawi dan menimbulkan rasa kekaguman dan penghormatan.

(2)   Sekumpulan kepercayaan hal tentang hal yang dianggap sakral.

(3)   Penegasan kepercayaan dengan melaksanakan ritual yaitu aktivitas keagamaan.

(4)   Sekumpulan kepercayaan yang ikut dalam ritual yang sama.

d)               Deferensiasi Berdasarkan Jenis Kelamin dan Gender

Pembicaraan tentang perbedaan laki-laki dan perempuan akan mencakup perbedaan secara seks dan perbedaan gender. Menurt William Kornblum perbedaab secara seks adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis. Perbedaan tersebut adalah karakterstik seks primer seperti alat kelamin yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan karakteristik seks sekunder yang akan muncul kemudian seperti bentuk tubuh dan bentuk suara. Adapun perbedaan secara gender adalah cara berperilaku yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan yang sudah ditemukan oleh kebudayaan yang kemudian menjadi bagian dari kepribadiannya.

e)                Deferensiasi Berdasarkan Suku Bangsa

Istilah suku bangsa menurut Koentjoroningrat adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan di mana kesadaran dan identitas tadi sering dikuatkan oleh kesamaan bahasa. Kesatuan kebudayaan tersebut merupakan bukan merupakan hal yang di tentukan oleh orang luar melainkan oleh warga kebudayaan yang bersangkutan. Misalnya orang jawa memiliki kesadaran-kesadaran sendiri bukan karena penelitian etnografi bahwa di antara mereka ada keseragaman mengenai kebudayaan mereka yaitu kebudayaan jawa yang memiliki kepribadian dan identitas khusus yang berbeda dengan kebudayaan lainnya.[11]

Jadi suku bangsa adalah golongan sosial yang dibedakan dari golongan sosial yang lain karena memiliki ciri-ciri yang paling mendasar dan umum berkaitan dengan asal usul tempat asal serta kebudayaan. Ciri-ciri yang mendasar antara lain sebagai berikut:

(1)   Tipe fisik yang sama, seperti warna kulit dan rambut

(2)   Bahasa daerah yang sama

(3)   Adat istiadat yang sama

(4)   Kesenian yang sama

Suku bangsa di indonesia beranekaragam macamnya. Sebagian besar dari mereka tetap menonjolkan sifat kulturalnya di bandingkan sifat keturunanya. Adapun sifat kurtural yang di maksud adalah persamaan kebudayaan dan bahasa.

f)                 Deferensiasi Berdasarkan Klan

Klan atau clan berarti kaum, suku, atau marga. Klan adalah kelompok kekerabatan dengan cara menarik garis keturunan secara unirateral dari pihak ibu maupun pihak ayah. Jika kelompok kekerabatan tersebut menarik garis keturunan dari pihak ayah disebut keluarga patrilineal, sedangkan jika menarik garis keturunan dari pihak ibu disebut keluarga matrilineal.[12]

2. lembaga sosial

a. Definisi lembaga sosial

Istilah lembaga sosial berasal dari kata institutions, yang menunjuk tentang sesuatu yang telah mapan. Dalam pengertian sosiologis lembaga dapat dilukiskan sebagai suatu organ yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat.

Berger mendefinisikan lembaga sebagai suatu prosedur yang menyebabkan perbuatan manusia ditekan oleh pola tertentu dan dipaksa bergerak melalui jalan yang dianggap sesuai dengan keinginan masyarakat. W. Hamilton mendefinisikan lembaga sebagai tata cara kehidupan kelompok, yang apabila dilanggar akan dijatuhi derajat sanksi.

Banyak ahli berbeda pendapat mengenai definisi dari social institutions sebagian mendefinisikan sebagai lembaga sosial dan sebagian yang lain mendefinisikan sebagai lembaga kemasyarakatan.

Berikut ini dikemukakan definisi social institutions dari para ahli:

1)      Polak ( 1979 ), menyatakan bahwa lembaga atau social institutions adalah suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting

2)      Selo Soemadjan dan Soelaiman  Soemardi ( 1964 ), menerjemahkan social institutions sebagai lembaga kemasyarakatan

3)      Maclver dan Charles H. Page ( 1957 ), mendefinisikan bahwa lembaga kemasyarakatan adalah tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan yang dinamakan asosiasi

4)      Leopold von Wiese dan Howard Becker melihat lembaga kemasyarakatan dari segi fungsinya, yaitu sebagai suatu jaringan proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan kepentingan manusia dan kelompoknya

5)      Sumner melihat lembaga kemasyarakatan dari segi kebudayaan, yaitu sebagai perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan, bersifat kekal serta bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar ada keteraturan dan integrasi dalam masyarakat

6)      Soekarno ( 2002 ), mendefinisikan lembaga masyarakat sebagai himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kehidupan pokok di

dalam masyarakat.

Dari perbedaan istilah para ahli di atas, yang penting ialah bahwa social institutions lebih menunju adanya unsur-unsur yang mengatur prilaku warga dalam kehidupan sosial masyarakat. Istilah lembaga soaial disini artinya, bahwa lembaga sosial lebih menunjuk pada suatu bentuk prilaku sosial anggota masyarakat dalam kehidupan bersama, sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut.[13]

b. Latar belakang terjadinya lembaga sosial

Terjadinya lembaga sosial bermula dari tumbuhnya suatu kekuatan ikatan hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat. Ikatan hubungan antar manusia tersebut erat kaitannya dengan keberlakuan suatu norma sebagai patokan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti kebutuhan akan rasa keindahan, keadilan, pendidikan, ketenteraman keluarga dan sebagainya. Kebutuhan akan pendidikan kemudian menimbulkan lembaga pendidikan, seperti sekolah dasar, pesantren sampai pada perguruan tinggi. Kebutuhan akan keindahan kemudian menimbulkan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya seperti seni rupa, seni tari dan begitu seterusnya proses kelembagaan kebutuhan-kebutuhan lainya.

Menurut Soerjono Soekanto ( 1982 ) bahwa tumbuhnya lembaga sosial oleh karena manusia dalam hidupnya memerlukan keteraturan-keteraturan maka dirumuskan norma-norma dalam masyarakat. Dalam sosiologi di kenal ada 4 proses kelembagaan, yaitu:

1)      Cara ( Usage ) yaitu menunjuk kepada suatu perbuatan.

2)      Cara menunjuk kepada suatu perbuatan tersebut berlanjut sehingga menjadi suatu kebiasaan ( fokways ), yaitu perbuatan yang sering di ulang-ulang dalam setiap mencapai tujuan tertentu.

3)      Apa bila kemudian kebiasaan itu di terima sebagai patokan atau norma pengatur kelakuan bertindak, maka di dalamnya terdapat unsur pengawas dan jika terjadi penyimpangan, pelakunya akan di kenakan sanksi yang tegas.

4)      Tata kelakuan yang semakin kuat mencerminkan kekuatan pola kelakuan masyarakat yang mengikat para anggotanya, tata kelakuan ini disebut sebagai adat istiadat. Bagi anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat tersebut maka akan di kenakan sanksi yang lebih keras. Di Lampung, suatu kabaian atau pantangan apabila seorang gadis mendatangi pria idamannya karena rindu yang tidak tertahan, bahkan ia dapat di kucilkan dari hubungan bujang-gadis karena dianggap tidak suci lagi.

Hasan Shadily ( 1984 ) dalam bukunya “Sosiolapgi Untuk Masyarakat Indonesia “, di jelaskan bahwa adat-adat yang oleh anggota golongan, terutama oleh masyrakat sederhana, sangat keras di pertahankan dan pelanggaranya di hukum mati yaitu antara lain, Tabu, larangan keras untuk menginjak daerah yang dikatakan suci, atau berbuat sesuatu yang salah atau yang dilarang. Dalam agama Islam banyak lagi paham-paham lembaga hukum seperti haram, makruh, sah, dan sebagainya yang mempunyai ari-arti yang tegas.[14]

Menurut Jhonson ( 1967 ),  bahwa suatu norma atau lembaga dalam suatu sistem sosial tertentu, paling sedikit mempunyai tiga syarat yaitu:

a)      Bagian terbesar dari warga suatu sistem sosial menerima norma tersebut.

b)      Norma tersebut telah menjiwai bagian terbesar warga-warga terbesar sistem sosial tersebut.

c)      Norma tersebut bersanksi.

Menurut Soekanto ( 2002:199 ), secara umum lembaga kemasyarakatan ini untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya lembaga kemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi antara lain:

(1) Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat bagaimana mereka harus beringkahlaku atau besikap menghadapi masalah-masalah dalam masyrakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.

(2) Menjaga keutuhan masyarakat.

(3) Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial. Artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-angotanya.

c. Proses Pertumbuhan Lembaga Kemasyarakatan

Proses pelembagaan adalah proses yang terjadi pada suatu norma untuk menjadi suatu bagian dari suatu lembaga sosial sehinga di kenal, diakui, dimengerti, dihargai, dan ditaati oleh masyarakat. Proses pelembagaan sebenarnya bisa lebih jauh lagi sehingga suatu norma sosial menjadi internalizet ( mendarah daging ). Yaitu semua taraf pengembangan itu di mana para anggota masyarakat dengan sendirinya berperilaku sejalan dengan perilaku yang sejalan dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Lembaga sosial adalah pranata yang berperan dalam mengendalikan perilaku menyimpan. Pranata adalah seperangkat peraturan yang berkisar pada kegiatan sosial tertentu. Dengan kata lain pranata merupakan tata cara yang diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia dalam suatu kelompok masyarakat.

Ciri-ciri pranata:

1)      Mempunyai beberapa tujuan dan tingkat kekekalan tertentu

2)      Memiliki alat-alat perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan

3)      Memiliki tradisi yang tertulis maupun tak tertulis

4)      Memiliki lembaga-lembaga tertentu

5)      Merupakan suatu organisasi dari pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku

6)      Mempunyai alat-alat sosial yang memegang peranan penting

Beberapa pranata sosial yang memegang peranan penting:

a)      Polisi, adalah aparat keamanan yang bertindak untuk mencegah dan mengatasi

b)      perilaku menyimpang. Dilakukan dengan cara menangkap, memeriksa atau menyidak warga masyarakat yang melakukan perilaku menyimpang, selanjutnya mengajukan ke pengadilan

c)      Pengadilan, adalah bagian dari lembaga kehakiman yang bertugas menyelenggarakan proses peradilan terhadap orang-orang yang di tuduh melanggar hukum. Tugas pokoknya adalah memeriksa dan memutuskan perkara dengan seadil-adilnya berdasarkan barang bukti dan sakai-saksi yang menyakinkan.

d)     Adat, adalah kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung dan menjadi norma dalam masyarakat atau pola-pola prilaku tertentu dari warga masyarakat di suatu daerah tettentu. Dalam adat istiadat terkandung serangkaian nilai, pandangan hidup, cita-cita, pengetahuan, dan keyakinan serta aturan-aturan yang saling berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan yang bulat. Fungsinya sebagai pedoman tertinggi dalam bersikap dan berperilaku bagi seluruh warga masyarakat

e)      Tokoh masyarakat, adalah orang-orang yang dituangkan dalam lingkungan, sehingga ucapan, sikap dan perilakunya bisa diteladani orang banyak. Dengan demikian nasehat, saran, pemikiran dan cotoh tindakannya dapat mempengaruhi dan mengendalikan perilaku orang-orang sekitarnya. Tokoh masyarakat antara lain ketua adat, kepala suku, pemimpin agama, pemimpin organisasi kemasyarakatkan, pemimpin formal, dokter, seniman besar yang berkepribadian kuat.[15]

c. Lembaga-Lembaga Sosial Keagamaan Islam Di Indonesia

Lembaga-lembaga sosial keagamaan islam di Indonesia sangat besar peranannya seperti organisasi ulama Indonesia yang biasa disebut :

1)     Majelis Ulama Indonesia (MUI),

2)     Persatuan Pemuda/Pelajar/Mahasiswa

3)     Persatuan Pengusaha dan lain-lainnya.

Selain itu ada juga yang disebut NU, lembaga ini bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah, terutama dalam bidang pembinaan pesantren di berbagai daerah di Indonesia. Begitu juga dengan Muhamadiyah, lembaga ini bergerak dalam bidang pendidikan, kemasyarakatan. Banyak sekolah didirikan baik sekolah agama maupun sekolah umum diberbagai tempat di Indonesia. Selain itu juga terdapat lembaga-lembaga lainnya yang bersifat kemasyarakatan yang berada di daerah-daerah yang lebih rendah seperti desa, RT, RW.[16]

3. Sumber-Sumber Struktural

Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.

Di dalam kelompok sendiri pada dasarnya telah terbangun sebuah kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma. Perubahan mungkin saja tidak terjadi apabila terdapat penolakan-penolakan dari dalam kelompok. Proses perubahan membawa kelompok pada keseimbangan baru. Perubahan terjadi apabila driving forces lebih kuat dibandingkan resistences. Pada tahap ini seringkali terjadi konflik dan “polarisasi” di dalam kelompok. Kelompok mayoritas akan berusaha menekan kelompok minoritas. Seringkali kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di dalam kelompok didasarkan pada relasi antara individu dan standar perilaku di dalam kelompok. Beberapa individu mungkin memiliki perilaku yang berbeda dengan standar perilaku di dalam kelompok. Apabila individu tetap mempertahankan perbedaan tersebut maka individu akan dikucilkan oleh kelompok dan bahkan akan “dikeluarkan” dari kelompok. Oleh karenanya seringkali individu harus berusaha untuk melakukan usaha konformis untuk menyesuaikan dengan standar kelompoknya.

Konflik tidak selamanya memberikan dampak yang jelek pada kelompok. Di dalam kelompok yang sehat justru konflik dianjurkan, hal ini sering dikenal dengan istilah kontroversi. Berbagai studi dalam bidang ilmu perilaku oranisasi yang menunjukkan bahwa adu argumentasi, ketidaksetujuan, debat, ide-ide atau informasi yang bermacam-macam ternyata sangat penting dalam meningkatkan kreatifitas dan kualitas kelompok. Keuntungan yang diperoleh dengan adanya konflik antara lain adalah anggota kelompok akan lebih terstimulasi atau terangsang untuk berpikir atau berbuat sehingga mengakibatkan kelompok menjadi lebih dinamis dan berkembang karena setiap orang mempunyai kesempatan untuk menuangkan ide-ide atau buah pikirannya secara lebih terbuka. Namun, untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam artian produktif konstruktif, konflik harus dikendalikan secara positif.[17]

C. Studi Kasus

1. Sejarah Singkat Lahirnya Kementerian Agama

Lahirnya Kementerian Agama merupakan jawaban kongkrit atas tuntutan sejarah bangsa. Dan lebih dari itu hal ini merupakan jaminan atas pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, terutama sila Ketuhanan dan pasal 29 dari UUD 1945.

Keberadaan Kementerian Agama yang ada mulanya bernama Kementerian Agama, awalnya diusulkan oleh utusan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Kepresidenan Banyumas (K.H. Abu Dardiri, H.M. Saleh Suaidy dan M. Sukeso Wirya Saputra) pada sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jakarta pada tanggal 24-28 Nopember 1945.

Usulan mereka disetujui oleh sidang, kemudian keputusan sidang tersebut diproses. Dan pada tanggal 3 Januari 1946, pemerintah mengumumkan berdirinya Kementerian Agama RI dengan Menteri Agamanya yaitu H.M. Rasyidi, BA. Maka dari sejarah singkat itulah, tanggal 3 Januari diperingati sebagai Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian Agama.

2. Sejarah Singkat Kementerian Agama Kota Sukabumi

Kementerian Agama Kota Sukabumi sejak tahun 1975 sampai dengan tahun 1982 pada awalnya bergabung dengan kabupaten, dengan nama Kantor Perwakilan Kementerian Agama Kokab Sukabumi yang beralamat di Jl. Surya Kencana Sukabumi.

Sejak tanggal 1 April 1982 Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi terpisah dari Kementerian Agama Kabupaten Sukabumi, dengan Kepala Kantor Kementeriannya yang pertama yaitu H. Muhammad Yunus HZ, BA. (almarhum) yang berkantor di Jalan Taman Bahagia No. 34 Sukabumi sampai sekarang.

Dalam sejarah pergantian kepala kantor, sampai saat ini tercatat sudah ada 9 Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi, yaitu :

  1. H. Muhammad Yunus HZ, BA. (1975 – 1983 )
  2. Drs. H. Mamak Muhammad Zein (1983 – 1988 )
  3. Drs. H. Muchrodin (1988 – 1990 )
  4. Drs. H. Odong Sanusi(1990 – 1995)
  5. H. Aluh Darussalam, S.Ag.(1995-1996)
  6. Drs. H. Idim Taufik (1996-1999)
  7. Drs. H. Unang Sobandi (1999-2004)
  8. Drs. H. Effendi Ali, MM.(2004-2007)
  9. H. Abu Bakar Sidik, M.Ag.(2007-sekarang)

3. Tugas dan Fungsi

Berdasarkan KMA Nomor 373 Tahun 2002, Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi mempunyai tugas melaksanakan tugas pokok dan fungsi Kementerian Agama dalam wialayah kota berdasarkan kebijakan Kepala Kantor wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat dan peraturan perudang-undangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi menyelenggarakan fungsi :

  1. Perumusan visi, misi dan kebijakan teknis di bidang pelayanan dan bimbingan kehidupan beragama kepada masyarakat.
  2. Pembinaan, pelayanan dan bimbingan di bidang bimbingan masyarakat Islam pelayanan haji dan umrah, pengembangan zakat dan wakaf, pendidikan agama dan keagamaan, pondok pesantren, pendidikan agama Islam pada masyarakat dan pemberdayaan masjid, urusan agama, pendidikan agama, bimbingan masyarakat Kristen, Katolik, Hindu, serta Budha sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Pelaksanaan kebijakan teknis di bidang pengelola administrasi dan informasi keagamaan.
  4. Pelayanan dan bimbingan di bidang kerukunan umat beragama.
  5. Pengkoordinasian, perncanaan pengendalian dan pengawasan program.
  6. Pelaksanaan hubungan dengan pemerintah daerah, instansi terkait dan lembaga masyarakat dalam rangka pelaksanaan tugas Kementerian Agama di kabupaten/ kota.

4. Program Kerja dan Realisasi Program

Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya tersebut, berbagai aktifitas pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat di tahun anggaran 2010 ini telah dilakukan oleh aparatur Kementerian Agama Kota sukabumi sesuai dengan tugas, kewenangan dan kewajiban masing-masing. Program kerja disusun dengan kerangka SAKIP dan LAKIP (Sistem dan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah), laporan dan evaluasi program dilakukan secara rutin tiap bulan dan berkala.
Dalam rangka meningkatkan disiplin dan kinerja pegawai, kekeluargaan, persatuan dan kebersamaan merupakan media efektif yang dilaksanakan di Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi, kunjungan silaturahmi dan koordinasi, apel pagi (Senin dan Kamis), pembinaan rutin, pakaian seragam, tadabur alam dsb.

5. Susunan Organisasi dan Pegawai

Sejak dikeluarkannya Keppres No. 49 Tahun 2002 tentang Kementerian Agama dan KMA No. 373 Tahun 2002, susunan organisasi Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi termasuk ke dalam Tipologi I-A. Berdasarkan data sampai tanggal 30 Nopember 2009, pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi berjumlah 355 orang, yang tersebar di unit-unit kerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.

6. Visi

Sejalan dengan salah satu misi Indonesia jangka panjang untuk Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila serta Visi Kementerian Agama RI, yakni Terwujudnya masyarakat Indonesia yang taat beragama, maju, sejahtera, dan cerdas serta saling menghormati antar sesama pemeluk agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat merumuskan Visi sebagai berikut : Terwujudnya aparatur Yang profesional, transparan dan akuntabel menuju masyarakat Jawa Barat Yang taat beragama, sejahtera dan berwawasan maju.
Maka Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi merumuskan Visi sebagai berikut :
terwujudnya masyarakat kota sukabumi yang taat beragama, cerdas, sehat, rukun dan sejahtera.

Melalui visi ini Kantor Kementerian Agama Kota sukabumi secara bertahap dapat melakukan berbagai upaya menuju arah tersebut. Sehingga pada waktunya harapan-harapan tersebut dapat terwujud.

7. Misi

Untuk mewujudkan visi Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi dijabarkan dalam misi sebagai berikut :

  1. Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui upaya menwujudkan aparatur yang amanah dan profesional.
  2. Meningkatkan kualitas pembinaan dan pelayanan kehidupan umat beragama.
  3. Meningkatkan kualitas pembinaan dan pelayanan terhadap pendidkan agama dan keagamaan.
  4. Meningkatkan kualitas pembinaan terhadap lembaga agama dan keagamaan dalam upaya meningkatkan perannya dalam memperkuat kerukunan, rasa persatuan dan kesatuan dan sekaligus dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
  5. Meningkatkan kualitas pembinaan keluarga dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
  6. Meningkatkan pembinaan terhadap para calon jamaaah maupun paska jamaah haji dalam upaya mewujudkan dan memelihara kemabruran haji.

8. Arah Kebijakan

Dengan berlandaskan kepada rencana pembangunan jangka panjang nasional tahun 2005-2025 dan memperhatikan keadaan umum pembangunan masyarakat bidang agama dewasa ini, serta visi dan misi yang diemban, maka arah kebijakan pembangunan bidang agama Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi sebagai berikut :

  1. Meningkatkan dukungan teknis dan administrasi secara efektif dan efisien baik dilingkungan Kantor Kementerian Agama maupun Kantor Urusan Agama
  2. Meningkatkan pelayanan pengelolaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan
  3. Membantu penyelenggaraan kegiatan pendidikan agama dan keagamaan
  4. Meningkatkan penyelenggaraan pengendalian pelaksanaan program kerja dan kegiatan serta terukur
  5. Meningkatkan sarana dan prasarana di lingkungan kantor Kementerian Agama maupun Kantor Urusan Agama Kecamatan
  6. Meningkatkan hubungan kelembagaan dalam pengelolaan dana sosial keagamaan dan wakaf
  7. Meningkatkan kualitas dan pembinaan terhadap sumber daya manusia
  8. Memantapkan kerukunan umat beragama
  9. Peran aktif dalam upaya menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan rintisan wajib belajar pendidikan 12 tahun.

Adapun tujuan akhir yang ingin dicapai dalam mengimplentasikan misi adalah :

1)      Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

2)      Meningkatkan kualitas pelayanan modern kepada masyarakat berdasarkan etika dan norma agama

3)      Meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan umat beragama

4)      Meningkatkan peran serta masyarakat/lembaga-lembaga sosial keagamaan /lembaga-lembaga pendidikan dalam proses membangun masyarakat yang taat beragama

Yang dijabarkan dalam bentuk sasaran yang akan dicapai yaitu:

1)      Meningkatnya kualitas pemberdayaan Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan dan pemberdayaan lembaga bimbingan keluarga

2)      Meningkatnya pelayanan penyelenggaraan ibadah haji

3)      Meningkatnya manajemen pengelolaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan:

4)      Meningkatnya fasilitas sarana dan prasarana penyelenggaraan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan

5)      Meningkatnya pengelolaan dan pembinaan administrasi perencanaan, kepegawaian, keuangan dan aset-aset negara serta penataan kearsipan

6)      Meningkatnya pelayanan teknis operasional unit kerja pada Kantor Kementerian Agama Kota Sukabumi.

7)      Meningkatnya sistem penyelenggaraan administrasi umum dan dukungan informasi

8)      Meningkatnya penyelenggaraan pengendalian pelaksanaan program kerja dan anggaran

9)      Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana pendidikan pada madrasah

10)  Meningkatnya hubungan kelembagaan pengelola zakat, wakaf dan lembaga-lembaga sosial keagamaan

11)  Meningkatnya kompetensi dan kesejahteraan guru pendidikan agama dan keagamaan; Meningkatnya wawasan multikultural bagi guru-guru pendidikan agama dan guru pada madrasah; Meningkatnya indeks prestasi peserta didik; Meningkatnya intensitas dan kualitas penyelenggaraan kegiatan pendidikan agama pada masyarakat; Meningkatnya kompetensi dan kuantitas tenaga penyuluh agama;

a)      Memperkokoh kerukunan umat beragama

b)      Tuntasnya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun

c)      Terselenggaranya wajib belajar pendidikan menengah

D. Analisis

Dari pengertian struktur sosial adalah sebagai tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan perilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat, maka di sini jelas yang di namakan struktur sosial memiliki peranan yang berpengaruh terhadap masyarakat, terutama pada tingkah laku masyarakat aatau sosial yang berpacu pada batas-batas perangkat unsur sosial, sehingga dapat terbentuknya suatu masyarakat tertentu. Disamping itu struktur sosial juga mempunyai ciri-ciri, fungsi dan bentuk tersendiri, sehingga kita dapat membedakan struktur sosial yang kita pakai dan juga bertujuan untuk mendsiplinkan dan untuk tercapainya suatu masyarakat yang kiat inginkan.

Dilihat dari pengertian lembaga sosial adalah merupakan lembaga atau organisasi damana di dalamnya terdapat unsur-unsur yang mengatur prilaku warga dalam kehidupan sosial masyarakat, disini jelas bahwa yang dinamakan lembaga sosial merupakan bagian dari struktur sosial yang mana struktur sosial adalah sebagian tatanan kehidupan masyarakat saja, sedangkan lembaga sosial ini merupakan suatu organisasi atau lembaga yang mengatur kehidupan bermasyarakat dimana di dalamnya terdapat sistem-sistem atau norma-norma yang harus di ta’ati oleh masyarakat supaya struktur sosial yang suadah di bentuk bisa searah dengan fungsi dan tujuannya. Maka dari itu kita sebagai kelompok atau masyarakat harus bisa menyesuaikan diri terhadap peraturan-peraturan yang ada yang telah di tetapkan didalam lembaga sosial sehingga segala tingkah laku kita sebagai kelompok tidak akan keluar dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan yang yang telah di tetapkan dan kita terapkan di dalam kehidupan kita semua.

Sedangkan di lihat dari sumber sturkturalnya yang berarti perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidak seimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru, dan ini disebabkan penolakan-penolakan dari dalam kelompok baik dalam bentuk peraturan yang sudah di tetapkan oleh lembaga sosial maupun kuarang sepakatnya terhadap norma-norma yang sudah ada, sehingga sumber-sumber struktural ini bisa terjadi dan mengakibatkan konflik, tetapi konflik tidak selamanya memberikan dampak yang jelek pada kelompok. Di dalam kelompok yang sehat justru konflik dianjurkan, hal ini sering dikenal dengan istilah kontroversi, contohnya adu argumentasi, ketidaksetujuan, debat, ide-ide atau informasi yang bermacam-macam ternyata sangat penting dalam meningkatkan kreatifitas dan kualitas kelompok. Maka dari itu meskipun kita telah mengetahui bahwa timbulnya konflik antara kelompok satu dan kelompok lainnya itu berakibat buruk, maka seharusnya kita melihat dari sisi baiknya sehingga konflik tersebut tidak akan terjadi lagi sehingga menimbulkan kriminalitas yang berakibat pad diri kita sendiri.

E. Kesimpulan

1.    Pengertian struktur sosial adalah tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan perilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat, dan mengandung ciri, fungsi dan bentuk sebagai berikut:

Ciri-ciri struktur sosial:

a.       Struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang pokok yang dapat memberikan bentuk dasar pada masyarakat

b.      Konsep struktur sosial di terapkan pada totalitas, seperti pada lembaga, kelompok dan proses sosial

c.       Struktur sosial mencakup semua hubungan sosial antara individu-individu pada saat tertentu

d.      Struktur sosial merupakan seluruh kebudayaan masyarakat yang dapat di lihat

dari sudut pandang yang teoritis

Fungsi struktur sosial:

a.       Fungsi mempertahankan pola

b.      Fungsi adaptasi

c.       Fungsi pencapaian tujuan

d.      Fungsi integrasi

Bentuk-bentuk strutur sosial:

a.       Stratifikasi sosial

b.      Diferensiasi sosial

2.    Pengertian lembaga sosial adalah suatu oragan yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat dan lebih menunjuk pada suatu bentuk prilaku sosial anggota masyarakat dalam kehidupan bersama, sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut. Dan proses pelembagaannya sebagai berikut:

a.       Cara ( Usage ) yaitu menunjuk kepada suatu perbuatan

b.      Perbuatan yang sering di ulang-ulang dalam setiap mencapai tujuan tertentu

c.       Unsur pengawas dan jika terjadi penyimpangan, pelakunya akan di kenakan sanksi yang tegas

d.      Tata kelakuan yang semakin kuat mencerminkan kekuatan pola kelakuan masyarakat yang mengikat para anggotanya

lembaga sosial keagamaan islam di Indonesia:

a.      Majelis Ulama Indonesia (MUI),

b.      Persatuan Pemuda / Pelajar / Mahasiswa

c.      Persatuan Pengusaha dan lain-lainnya

3.    Sumber-sumber struktural merupakan hasil pemikir fungsionalis yang menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.


[1] Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksa 2007 Hal 67

[2] Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksa 2007 Hal 68

[3] Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksa 2007  Hal  68-70

[4] Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksa 2007 Hal 70

[5] Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksa 2007 Hal 72

[6] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 12

[7] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 14

[8] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 15-16

[9] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 5

[10] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 6-7

[11] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 10

[12] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 11-12

[13] Dr basrowi, M.S pengantar sosiologi ci awi bogor ghalia indonesia 2005 hal 92-93

[14] Abdul syani, sosiologi skematika, teori dan terapan,jakarta bumi aksa 2007 hal 76-77

[15] Janu Murdiayatmoko, Soaiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, IKAPI Grafindo Media Pertama 2007 Hal 78-79

[15] Amiek S, S.Pd Sosiologi Jl Surya CV HaKa MJ  Hal 43-45

[17] Amiek S, S.Pd Sosiologi Jl Surya CV HaKa MJ Hal  46

Tinggalkan komentar